Drs. Sumarjoko, MM : Saya Beruntung Sekali Bisa Hidup Bermasyarakat di Kota Mungkid

Dilihat 2596 kali
Drs. Sumarjoko, MM, pemerhati sejarah dan Budaya Jawa

Memasuki usia yang ke 34, Kota Mungkid ibarat sebuah kota yang menuju tingkat kedewasaan. Berbagai tulisan banyak yang mengupas tentang keberadaan sebuah kota ini. Ada yang menyanjung tetapi juga ada yang bersifat apatis / masa bodoh terhadap ibukota kabupaten tercinta kita.


Untuk lebih mengetahui apa tanggapan masyarakat/penduduk sekitar Kota Mungkid, kami hadirkan wawancara reporter BeritaMagelang.id, Widodo Anwari dengan Drs. Sumarjoko, MM, salah satu penduduk Kota Mungkid sekaligus sebagai pemerhati Kebudayaan Jawa.


Meski sudah pensiun, berbagai kesibukan masih melekat. Diantaranya menjadi Ketua Umum PKBI Kabupaten Magelang, Pengasuh Panti Asuhan Brayat Al Falah sejak 30 Agustus 1986, aktif di DHC 45, Sekretaris Sekar Kanthil Jawa Tengah, Sekretaris Paguyuban Satya Negara, sekaligus sebagai sekretaris kebudayaan Jawa, yang menjadikannya sulit ditemui. 


Berikut hasil wawancaranya kami hadirkan special menyambut hari ulang tahun ke 34 Kota Mungkid.
 
Bagaimana tanggapan anda mengenai Kota Mungkid sebagai ibukota Kabupaten Magelang?

Tanggapan saya mengenai keberadaan Kota Mungkid sebagai ibukota Kabupaten Magelang, sangat baik dan bahkan bersyukur meskipun terkesan lambat, tingkat kemajuan itu sudah terlihat dengan jelas. Kami mohon kepada pemerintah kabupaten agar diadakan fasilitasi pengembangan ekonomi masyarakat, sehingga tingkat kesejahteraan penduduk sekita Kota Mungkid bisa meningkat. Saya tidak menentang pengembangan Kota Mungkid sebagai kota pemerintahan, tetapi di sisi lain masyarakat Kota Mungkid, Sawitan dan Deyangan ini juga mengharapkan ada benefit (keuntungan) kesejahteraan dari keberadaan Kota Mungkid sebagai ibukota Kabupaten.

Mengenai pembangunan sarana prasarana apa sudah ada peningkatan, atau perlu ditambah?

Ada peningkatan! Rintisan membuka jalan Letnan Tukiyat atau Jl. Soekarno-Hatta, dari yang dulu ada jalur pembatas kemudian kita buka, ini kalau mungkin dilanjutkan sampai pertigaan Blondo. Sehingga kelihatan lebih welcome (ramah) bagi para pendatang baik ke Kota Kabupaten maupun ke Candi Borobudur. Bahkan keberadaan Polres dan juga sebentar lagi stadiun, membutuhkan aksesibilitas yang tinggi. Sehingga jika jalan lebih luas, akan lebih lancar. Sehingga saya sebagai penduduk sini, kalau bisa mengusulkan jalur pembatas dari pertigaan Banar, Carikan sampai Blondo itu dihilangkan. Sehingga jalan lebih lebar dan tidak menjadikan penyebab kecelakaan, kemacetan dan lain sebagainya. Sehingga menurut hemat kami penghilangan jalan pembatas ini sudah waktunya, mengikuti jalur dari Karet sampai pertigaan Carikan. Ini akan sangat indah sekali dengan catatan dilengkapi dengan trotoar di sisi sebelah kanan dan kiri.

Apakah perlu dibuatkan jalur alternatif?

Oh sangat perlu! Saya memandang perlunya jalur alternatif. Semisal pertigaan patung di Bapermaspuan (sekarang Dinsos PPKB PPPA) menuju utara sampai pertigaan Balai Desa, kemudian berakhir sampai pertigaan Pasuruan. Kalau ini bisa dilebarkan, katakanlah 6 meter, gambar Kota Mungkid akan lebih kelihatan.

 
Bagaimana sebaiknya peran serta masyarakat tehadap perayaan HUT Kota Mungkid?

Kalau saya cenderung seperti dahulu, yang penuh keakraban antar aparatur Pemerintah Daerah dengan aparatur desa. Semisal sepak bola antara Pemda dengan kesebelasan perangkat desa di Deyangan, Sawitan, ataupun Mendut menjadi satu. Sehingga masyarakat Kota Mungkid akan lebih memiliki rasa handarbeni terhadap kotanya.

Bagaimana tanggapan anda terhadap Kota Mungkid yang masih kelihatan sepi?

Begini, sepinya Kota Mungkid itu memang sejalan dengan fitrah dibangunnya Kota Mungkid. Dalam kaitannya sejarah pada + 1.300 tahun yang lalu. Menurut sejarahnya, Kota Mungkid itu adalah bagian dari Bhumi Shambara Budhara, jadi Bhumi itu adalah kawasan pengembara dan Budhara adalah tentang Ke-Budha-an. Jadi kawasan dengan luasan dan batas tertentu, tempat orang-orang mengembara untuk menimba ilmu ke-Budha-an. Artinya Kota Mungkid itu dahulu dari Pandean sampai Giripurno, kemudian Bigaran sampai Ngrajek, itu semua merupakan kota mandiri. Dengan pusat peternakan di daerah Pangonan, kemudian pusat perlengkapan perang pertanian dipusatkan di Pandean, dan pusat cerdik pandai di daerah Janan. Dan menurut saya strata pada waktu itu adalah tanah pardikan. Saya mengatakan itu karena dari sini akan tergambar sebuah tata kota asli jawa pada zaman tersebut. Manajemen Jawa sebenarnya lebih maju daripada manajemen-manajemen dari Barat. Karena manajemen Jawa itu juga meliputi segala sesuatu potensi yang ada pada waktu itu.
 
Apa harapan ke depan bapak sebagai penduduk Sawitan kaitannya dalam keberadaan Kota Mungkid sebagai pusat pemerintahan?
 
Ke depan saya ingin semua pihak bisa menikmati keberadaan Kota Mungkid sebagai Kota Kabupaten. Saya mempunyai obsesi Wilayah/ Kota bisa diwujudkan kembali dengan orang-orang yang mengembara.

Di akhir wawancara beliau memberikan wejangan tentang khasanah Jawa, yang menuturkan tentang pentingnya budaya Jawa, yang tidak lekang dimakan usia. Ia juga mempunyai semboyan "Hidup harus berguna bagi sesama, jangan pernah menyakiti orang lain jika tidak mau disakiti".


Selamat HUT ke 34 Kota Mungkid!


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar