Tumpangsari Alpukat Cabe dan Jahe Petani Lereng Sumbing Untung Ratusan Juta Rupiah

Dilihat 2294 kali
Distanpan Kabupaten Magelang meninjau panen raya jahe di Desa Sukomulyo Kajoran Kabupaten Magelang hasil tumpangsari tanaman cabai dan buah alpukat

BERITAMAGELANG.ID - Geografis Desa Sukomulyo, Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang berada di ketinggian lereng Gunung Sumbing. Namun siapa sangka diantara hawa sejuk pegunungan tersebut para petani yang tergabung dalam Gapoktan Ngudirahayu sukses melakukan budidaya aneka tanaman dalam satu lahan atau sistim tumpangsari.

Ditemui saat kunjungan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Magelang dalam proses panen raya Selasa (13/09/2022) Kepala Desa Sukomulyo, Ahmat Riyadi, mengatakan selain potensi perikanan juga ada pertanian yang dalam lima tahun terahir dilakukan upaya tumpangsari antara tanaman alpukat, jahe, cabai, sawi dan lainnya.

"Alpukat dan juga jahe yang sudah berjalan dikelola Kelompok Tani dan Gapoktan. Luasan lahan yang sudah jadi adalah kurang lebih 4 hektar sampai 5 hektar yang kami sewa dari anggota Gapoktan," kata Riyadi.

Gapoktan Ngudirahayu Desa Sukomulyo Kajoran beranggotan sekitar 25 petani jahe dan palawija.

Menurut Riyadi, semua tanaman itu pun sukses dipanen dan dapat menambah penghasilan para petani karena saat dipanen masing masing tanaman memiliki harga tersendiri. Saat ini para petani tengah bersemangat panen raya buah alpukat yang juga tumpangsari dengan jahe dan cabe. Namun demikian hasil panen semua tanaman itu luar biasa. 

Riayadi mencontohkan untuk berat satu buah alpukat jenis alligator dan mete asal Gunung Sumbing bisa mencapai 8 ons hingga 1 kg. Untuk harga jual alpokat sekarang ini dikisaran Rp 20.000 sampai Rp 25.000 perkilonya

Secara akumulatif hasil panen cabai rawit musim ini mampu menghasilkan hingga puluhan juta. Untuk tanaman jahe pada akhir panen kemarin para petani mendapat hasil penjualan hingga seratus lima puluh juta rupiah.

"Alpukat kurang lebih dalam satu musim kita panen 1 tont yang di lahan ini 2 hektare dan kalau jahe kurang lebih 10 ton," ungkapnya.

Salah satu petani yang juga Ketua Gapoktan Ngudirahayu Mustofa mengungkapkan berdasar pengalaman selama 3 tahun pola tumpangsari sangat menguntungkan dan lebih praktis dibanding pola tanam konfensional satu jenis komoditas saja.

Menurutnya tumpangsari juga dapat mengantisipasi kerugian bagi petani karena tanaman sayur mayur harus rutin mengolah lahan setelah panen atau sebelum tanam. Sementara pada tanaman jahe hanya dibutuhkan satu kali mencangkul karena begitu jahe dipanen langsung sudah jadi lahan lagi yang bisa dimanfaatkan untuk tanaman lain juga.

"Kita gak suruh orang nyangkul lagi, udah, tinggal tanam lagi. Itu saya minatnya kesitu, untuk tanam jahe. Jadi, tanam jahe, saya panen cabe. Yang sebelah sana tanem jahe panen alpukat. Yang sebelah sana, tanam jahe berbuah jeruk nipis," jelas Musthofa.

Musthofa menceritakan dari selalin panen jahe dirinya juga sukses menuai hasil panen tumpangsari cabe. Ia menaman jahe ditengahnya ditanam cabe.

Dari upaya itu hasil panen cabai pada tahun kemarin masuk dalam hasil penan paling 'jago' di wilayah Kajoran sama Kaliangkrik. Keberhasilan itu juga membuat penasaran banyak petani dan produsen obat pertanian yang mencoba 'mengulik' cara perawatannya.

"Dari pihak-pihak pedagang obat-obatan itu sampe surve ke sini tanyak kayak gimana caranya gini-gini, udah banyak dari produk-produk obat. Jadi, saya taneman ya cuman kaya gitu, nanem jahe, yang tengah saya kasih cabe," jelas Musthofa.

Saat ini harga jual jahe ditingkat petani hanya kisaran Rp 5000-6000/kg. Harga tersebut turun drastis dibanding masa panen tahun lalu yang mencapai Rp 20.000-25.000/kg dengan volume panen mencapai 20 ton.

Musthofa dan petani jahe lain di Kajoran tidak mengetahui penyebabnya. Namun anjlognya harga itu Musthofa mengaku tetap mendapat untung karena disaat yang sama harga jual cabai tengah melejit.

Diceritakan Mushtofa saat itu modal tanam bibit dan pupuk untuk tanam cabai dan jahe mencapai Rp 15 juta dan dari hasil panen cabai saja dirinya sudah mendapatkan uang Rp 50 juta. Sedangkan jahe dan alpokat belum dipanen sehingga pola tumpangsari ini dirasa lebih menguntungkan baginya.

"Kalau bilang harga untung ga, ya tetep untung, wong ini jahe saya ga panen aja tetep untung, Itu cabenya aja saya udah dapet 50juta. Bahkan, sekarang tuh (jahe) laku 500 perak itu saya tetep untung," kelakarnya.

Selain menguntungkan dan efisien pola tanam tumpangsari tanaman yang dilakukan petani di Sukomulyo ini juga menjadi upaya konservasi lahan. Adanaya akar pohon alpukat memungkinkan menjaga stabilitas tanah tebing dari potensi longsor meski lahan terasering berada di kemiringan terjal.

Sementara itu Kabid Tanaman Pangan dan Hortikulutra Distanpan Kabupaten Magelang Ade Srikuncoro Kusumaningtyas menuturkan Desa Sukomulyo sangat potensial untuk budidaya tanaman jahe emprit. Potensi untuk jahe emprit seluas kurang lebih 2 hektar, dan setelah dipipil bisa mendapatkan sekitar hampir 25 ton per hektar. Hal ini menandakan bahwa ada potensi kaitan dengan tanaman Herbalis ini dapat memberikan potensi untuk wisata herbal di Kabupaten Magelang, 

Dengan potensi tanaman herbal tersebut, lanjut Ade dimungkinkan bahawa Kabupaten Magelang bisa memberikan subsidi kaitan dengan kegiatan untuk pertanaman yang biofortifikasi secara berkelanjutan.

"Kami harap kepada para imvestor ataupun para mitra untuk bisa melihat potensi yang ada di kabupaten Magelang, karena hasil dari komoditas panenan ini sangat baik bagi pertanaman herbal di Kabupaten Magelang," harap Ade.

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar