Transformasi Petani Sumbing dari Cuaca Ekstrim dan Tanaman Tembakau

Dilihat 2775 kali
Ilustrasi petani di lereng Gunung Sumbing

BERITAMAGELANG.ID - Lahan subur terasering menjadi hadiah terindah dari Tuhan untuk masyarakat di lereng Gunung Sumbing Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pada momen lain, musim kemarau, tanaman tembakau masih menjadi idola yang dirindukan para petani negeri di atas awan itu. Meski harus bermodal besar, mimpi hasil jual tinggi nan menjanjikan membuat para petani bersemangat menanamnya. Namun, beberapa tahun terakhir, nasib petani Sumbing itu semakin terpuruk karena faktor cuaca yang semakin sulit diprediksi dan harga jual hasil panen rendah. 

Berdasar kearifan lokal, Universitas Muhammadiyah Magelang dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jawa Tengah menjadi solusi perubahan pola tanam dalam meningkatkan kesejahteraan para petani di negeri di atas awan tersebut. 

Kondisi itu dirasakan Najmudin, salah satu petani di Desa Candisari, Kecamatan Windusari Kabupaten Magelang. Pengalaman menggunakan pola tanam berdasar kalender Jawa atau Pranoto Mongso saat ini seakan tidak lagi tepat. Bahkan, hasil penjualan juga tidak cukup untuk modal bertanam lagi. Tanaman tembakau yang di masa kemarau menjadi tumpuan bagi petani agar bisa menyambung rezeki kini berubah menjadi sebuah komoditas mematikan.

"Kebanyakan diakibatkan oleh hama penyakit yang dipengaruhi oleh cuaca. Selama ini petani memperhitungkan cuaca menggunakan hitungan mongso, kalau orang jawa bilang itu pranata mangsa," kata Najmudin.

Namun takdir berkata lain, tata niaga tembakau seakan tidak berpihak kepada petani. 

"Hasil jual harga daun tembakaunya selalu tidak sebanding dengan modal perawatan. Kita selalu rugi," ujar Najmudin.

Bersama puluhan petani lain Najmudin kemudian berpetualang mencari inovasi pola tanaman untuk memperbaiki nasibnya. Gayung bersambut, di saat pencarian itu, UM Magelang datang dengan ubi jalarnya. Tanaman ketela itu seakan menjawab doa para petani Sumbing, sebagai tanaman alternatif pengganti tembakau.

"Bimbingan pengalihan tanaman tembakau ke tanaman ubi jalar yang dilakukan UM Magelang dimaksudkan untuk kesejahteraan petani," kata Rektor UM Magelang, Ir. Eko Moh. Widodo dalam "Diskusi dan Ngopi bersama Media Jawa Tengah" di Magelang, beberapa waktu lalu.

Kini program sederhana itu mulai membuahkan hasil, sekitar 350 hektar lahan di enam dari 20 desa di Kecamatan Windusari sudah beralih ke ubi jalar. Pada waktu yang sama, petani juga bisa melakukan pola tumpang sari tanaman antara ubi jalar, dan bawang putih. Sedangkan untuk meningkatkan pendapatan, hasil panen ketela bisa diolah menjadi produk olahan seperti keripik dan tepung.

"Memberdayakan petani tembakau ke ubi jalar bisa dinikmati masyarakat, karena hasil ketela bisa diolah untuk menjadi produk turunan yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi. Ada keleluasaan bagi petani, memadukan tanaman lain di satu lahan, dan mengolahnya menjadi produk lain. Sehingga mereka bisa memperoleh pendapatan dari komoditas pengganti tembakau itu," terang Eko.

Komoditas, lanjut Eko, tergantung pada kontur tanah petani. Sedang kontur tanah di Windusari sangat cocok untuk ubi jalar. Untuk daerah lain, tentu tanaman pengganti tembakau berdasarkan pada kontur tanahnya. Sehingga peneliti harus bisa menentukan tanaman apa yang sesuai dengan kontur tanah yang akan didampinginya.

Sementara berdasarkan hasil penelitian MTCC (Muhammadiyah Tobacco Control Center) di Temanggung Jateng (2014) menunjukkan hampir 90 persen petani tembakau menyatakan sistem tata niaga tembakau tidak berpihak pada petani. Sehingga upaya UM Magelang dengan mengalihkan petan tembakau ke tanaman lain bisa memberi jaminan pendapatan.

Mendukung upaya itu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menggelar Sekolah Lapang Iklim dan Sosialisasi Agroklimat, bagi para petani di lereng Gunung Sumbing tersebut. Bertempat di Desa Candisari, Kecamatan WindusariK kabupaten Magelang para petani mendapatkan pengetahuan memahami informasi cuaca iklim/ guna mengantisipasi dampak fenomena iklim ekstrem.

Melalui pendidikan non-formal dan pengalaman proses belajar berdasarkan kearifan lokal itu para petani belajar bersama memanfaatkan informasi tentang cuaca, musim, dan iklim secara efektif untuk pertanian. 

"Adanya perubahan iklim dewasa ini serta perkembangan informasi cuaca, para petani dapat menggabungkan informasi cuaca dengan kalender jawa dalam menentukan waktu tanam, hingga perlakuan pada tanaman terkait perubahan cuaca maupun hama," ujar Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Semarang, Tuban Wiyoso.

Para petani diharapkan terus beradaptasi dengan setiap pergantian cuaca untuk mengurangi kerugian.

"Harapannya petani bisa tetap produktif melewati pergantian musim. Tidak menanggung rugi akibat gagal panen maupun harga anjlok karena kualitas rendah," pungkas Tuban. 

Dari program itu, para petani Windusari bertransformasi secara nasib, maupun manajemen produktivitas pertanian. Mereka kini hidup berkecukupan tanpa meninggalkan rasa bersyukur atas lahan yang subur di Gunung Sumbing.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar