Wartawan Harus Pegang Teguh Kode Etik Jurnalistik

Dilihat 7043 kali
Tuhu Prihantoro, Wartawan Suara Merdeka


Mungkin sudah banyak yang mengenal sosok Tuhu Prihantoro yang akrab dengan sapaan 'Kepala Suku' di ranah jurnalistik Kabupaten Magelang. Jurnalis yang biasa bergaul dan berkomunikasi pasti mengenal pria paruh baya yang satu ini. Sebenarnya ini adalah pertemuan kemarin yang kami lakukan sambil makan siang di sebuah lunch room di salah satu restoran yang ada di Kabupaten Magelang. Secara pribadi meski sudah mengenal sosok ini sebelumnya namun saya hanya sebatas tahu bahwa beliau adalah salah satu wartawan yang cukup senior, cukup disegani di kalangan jurnalis baik di Kabupaten Magelang maupun di Kota Magelang, meski sudah sering melakukan komunikasi. Bertemu dan berbicara dengan sosok yang blak-blakan ini menjadi satu pengalaman yang cukup mengasyikan. Bahkan saking asyiknya tak terasa hampr 3 (tiga) jam berada di tempat duduk. Kesan pertama yang saya dapat dari figur ini ketika pertama kali bertemu adalah berwibawa.

Pengalaman pertama menjadi seorang jurnalis, yakni saat menjadi seorang reporter di radio swasta yang cukup terkenal di Kota Magelang, kemudian bergabung dengan Harian Pagi Suara Merdeka yang dimulainya pada 10 oktober 1984 hingga sekarang. Ia menyebutkan, menjadi wartawan merupakan pilihan hidup dirinya. Putra pertama dari 5 (lima) bersaudara menjadikannya harus mampu menjadi tauladan bagi adik-adiknya. Sebenarnya cita-citanya bukan menjadi wartawan, meski lulus dari Akademi Publistik Pembangunan Diponegara 1982. Suami dari Sri Widiati, salah satu PNS di Kabupaten Magelang ini bercerita panjang lebar tentang dunia kewartawanan. Bahkan ternyata Tuhu salah satu perintis berdirinya Majalah SUARA GEMILANG (SG), majalah milik Pemda Magelang. Dahulu majalah SG masih berbentuk buletin, kemudian bersama dengan Hardiyanto (Kabag Humas), Amat Sukandar (staf Humas), Hadi Supeno (mantan Wabup Banjarnegara), dan Kasubag Peliputan Mulyono, buletin yang ada pada saat itu diubah menjadi majalah yang terbit sebulan sekali hingga sekarang.

Jika belum mengenal pria yang satu ini, orang segan untuk mendekatinya, namun ternyata orangnya ramah, suka senyum, bicaranya blak-blakan dan suka bergurau hingga wajar dirinya disukai banyak kalangan, baik jurnalis, ormas, LSM, masyarakat biasa, politisi, pejabat pemerintah, polisi/TNI dan pengusaha.

Tuhu Prihantoro (59) putra kelahiran Kota Magelang, terlahir dari seorang ibu Suharti dan ayah Machfoel itu, juga dikenal cerdik dan punya banyak pengalaman liputan, hingga dia menjadi tempat bertanya bagi junior-juniornya di dunia jurnalistik.

Ayah dari Leila Kartika Andriani dan Rizky Gilang Wirahuda ini, juga menceritakan suka dukanya menjadi seorang wartawan. Semua dilakukan dengan penuh kesabaran, karena tuntutan profesi yang dilakoninya.

Dan perlu diketahui bahwa menjadi wartawan sudah hampir 33 tahun dilaluinya, bukan waktu yang pendek dari sebuah profesi yang ditekuninya.

Menurut dia, menjadi wartawan itu harus bisa menulis berita. Keterampilan itu bisa diperoleh dari belajar atau kuliah. Tetapi kalau sudah di lapangan, harus pandai bergaul.

"Membangun jaringan dan memelihara silaturahmi itu penting. Minimal hubungan menjadi baik. Manfaat lain, mempermudah untuk mendapatkan bahan berita," kata mantan Bendahara Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kedu itu.

Untuk menulis berita, wartawan harus yakin apa yang ditulis adalah benar. Hendaknya dalam membuat berita berimbang dan memegang teguh kode etik jurnalistk. Itu upaya untuk memiminalisasi munculnya komplain bahkan somasi. Ia membeberkan pengalamannya belasan tahun silam, disomasi oleh pengusaha dan berhasil diselesaikan setelah klarifikasi.

"Berita liputan pengadilan itu sebenarnya sudah benar. Yang tidak pas, unsur waktunya. Saya menulis kata kemarin, yang dimaksud Senin, ternyata berita dimuatnya Rabu," kata Tuhu yang juga Penasehat PWI Kabupaten Magelang saat ini.

Menurut dia, ibarat mengayuh di antara dua karang, artinya di zaman hoax sekarang gampang tergelincir, maka diperlukan kehati-hatian. Tetapi wartawan nggak usah khawatir, karena semua ada aturan mainnya.

Yang tak kalah pentingnya, wartawan selalu menjaga integritas dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Sehingga beritanya komprehensif dan proporsional.

Peran besar wartawan sebagai pengumpul dan pengelola informasi tentu saja sangat berarti bagi masyarakat, sebaliknya masyarakat juga berhak mengawasi, menilai dan bahkan mengkritisi kinerja wartawan agar apa yang disajikan oleh wartawan adalah sesuatu yang benar, berkualitas dan bermanfaat. Agar keseimbangan ini bisa berlangsung secara efektif ada beberapa prinsip jurnalisme yang wajib dipahami oleh publik dan harus dilakukan oleh seorang wartawan.

Tuntutan profesionalisme yang tinggi pada diri wartawan akan menimbulkan pada dirinya sikap menghormati martabat setiap individu dan hak-hak pribadi warga masyarakat yang diliputnya. Demikian pula sebaliknya, seorang wartawan akan dapat menjaga martabatnya sendiri karena hanya dengan cara itu ia akan mendapat kepercayaan masyarakat dalam menjalankan tugasnya sebagai wartawan profesional. Untuk mencapai hal ini, wartawan perlu memiliki kedewasaan pandangan dan kematangan pikiran. Wartawan harus memiliki landasan unsur-unsur yang sehat tentang etika dan rasa tanggung jawab atas perkembangan budaya masyarakat di mana wartawan itu bekerja. Selamat Hari Pers Nasional!

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar