Jurnalisme Kemanusiaan Tak Lekang oleh Waktu

Dilihat 5087 kali
Alm. akob Oetama

Oleh Ch. Dwi Anugrah


BERITAMAGELANG.ID--Masih teringat dalam  memori penulis, ketika sering mengisi artikel di media nasional Kompas beberapa tahun lalu. Pada tiap bulan Desember mesti ada kiriman kalender meja dan ucapan terima kasih yang ditanda tangani sendiri oleh Pak Jakob Oetama, pemimpin umum harian Kompas.

Meski belum sempat berjumpa langsung dengan beliau, penulis merasakan terajut suatu kontak emosional yang mendalam. Seorang pemimpin harian besar nasional mau menyapa penulis daerah dan terus memotivasi agar penulis-penulis daerah dapat memberikan kontribusi dan pencerahan humanisme untuk bangsa dan negara.

Tidak hanya masyarakat jurnalis (wartawan) dan pelayan media massa –khususnya koran– tetapi juga bangsa Indonesia, kehilangan sosok jurnalis yang dikenal selalu setia mengembangkan jurnalisme kemanusiaan dan kebangsaan. Jakob Oetama, Pemimpin Umum dan Pendiri Harian Kompas bersama PK Ojong, meninggal dunia pada tanggal 9 September 2020 lalu.

Integritas tinggi

Pak Jakob Oetama meninggal sebagai jurnalis sejati. Tidak berlebihan bahwa Presiden Jokowi menyebut Jakob Oetama sebagai tokoh pers berintegritas tinggi, karena dedikasi dan perjuangannya yang tak kenal lelah, demi tetap tegak dan solidnya peran pers di tanah air. Jakob Oetama merupakan pelopor dunia pers dari masa sebelum berkembangnya media daring, digital, atau siber. Pak Jakob juga dikenal sebagai pelopor media pers bernada menyejukkan. Bersama-sama dengan PK Ojong, beliau membangun perusahaan pers cetak terbesar yang pertama di Indonesia. Kesejukan hatinya tercermin dalam gaya pemberitaan dan kolom opini surat kabar harian Kompas yang lebih mengembangkan tujuan edukatif dan menjauhi sikap provokatif.

Pendiri dan Pemimpin Kompas itu menempatkan profesi pengelola media pers sebagaimana ibarat kita memasukkan kaki ke sungai, lalu terantuk batu. Kita bisa bersikap, tendang batu itu. Tetapi, kalau batu itu besar, mungkin kaki kita yang patah. Tetapi, kita juga bersikap, kita mundur menghindari batu tersebut untuk mencari jalan lain. Filosofis dari pesannya tersebut terkandung makna, dalam dinamika kehidupan memang kadang sangat melelahkan, karena kadang kita tidak sabar. Juga kadang ada konflik karena kita beranggapan bahwa yang menjadi pertaruhan itu besar. Dengan demikian pers perlu mencari solusi terbaik dan cerdas dalam menyikapi situasi.

Integritas yang tinggi sosok Jakob adalah pesan yang selalu disampaikanya kepada karyawan dan juga para wartawannya yaitu jangan terlalu cepat puas. Tetapi perlu mempersoalkan yang ditulis secara terus menerus dan tidak berkesudahan. Sebab, kalau sudah dihinggapi rasa puas, para wartawan itu bukan lagi menjadi wartawan sejati. Paling banter hanya sebagai juru penerang atau juru informasi. Wartawan sejati harusnya mampu menulis dan meliput berita yang bervisi serta mampu melihat peristiwa dalam kerangka kontekstual, bukan melihat peristiwa secara telanjang, tetapi perlunya peristiwa tersebut dielaborasikan secara analitis.

Jurnalisme humanisme

Jakob Oetama mendirikan, merintis, dan mengembangkan koran Kompas yang terbit perdana pada tanggal 28 Juni 1965 dengan jiwa dan orientasi humanisme (kemanusian). Kemanusiaan yang dibela bukan sembarang kemanusiaan melainkan kemanusiaan yang ditandai kepapaan atau bisa disebut kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel (KLMTD). Peradaban humanitas seperti itu dikembangkan melalui tulisan-tulisan Jakob Oetama.

Bicara humanisme tidak akan lepas dari aspek sosial dengan segala dinamika secara makro. Karena itu, humanisme selalu akan berkelindan erat dengan solidaritas terhadap sesama dan semesta. Perpaduan antara humanisme sosial dan kultur anamensis (kepekaaan sosial)  akan melahirkan cita-cita dan pengharapan untuk membela masyarakat yang tertindas, menderita, dan dilupakan.

Membela kemanusiaan dengan spirit humanisme yang demikian membuat kita selalu terbuka mencari inspirasi baru dan tidak terjebak pada sikap borjuis. Sikap borjuis ini akan memudarkan cita-cita humanisme yang membela kemanusiaan. Bisa menggoda siapa saja, termasuk masyarakat pers dan jurnalis, sehingga kehilangan aura mewartakan kebenaran, kebaikan, dan keadilan (Aloys Budi Purnomo, 2020).

Itulah tampaknya yang selalu menjadi perjuangan dan cita-cita seorang Jakob Oetama. Tantangan membela kemanusiaan melalui karya jumalisme semakin besar pada era global yang ditandai teknologi digital. Menjaga muruah membela kemanusiaan dalam karya jurnalisme menjadi perjuangan siapa saja yang berkomitmen membangun kehidupan manusia melalui media massa, apa pun bentuknya. Di sinilah, kita mendapat contoh dan warisan inspiratif yang terus bisa dikembangkan dalam jurnalisme kemanusiaan.

Jurnalisme damai

Di samping berpihak pada karakter membela kemanusiaan, Jakob Oetama juga dikenal dengan keluwesannya dalam mengembangkan semangat kebangsaan melalui jurnalisme damai. Semangat kebangsaan tidak bisa dilepaskan dari prinsip kemanusiaan. Pers apa pun dan mana pun, tidak pernah lepas dari pemerintah sebagai sumber pemberitaan.

Di satu sisi, pers bertugas mewartakan pemberitaan tentang upaya-upaya pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Di sisi lain, pers dipanggil untuk memberikan kontrol yang objektif, sehingga spirit kemanusiaan dan kebangsaan tetap berjalan beriringan. Insan pers memiliki tugas membangun wawasan kebangsaan untuk masyarakat.

Semangat kebangsaan yang ditandai keberagaman, dalam satu bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam roh Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi spirit jurnalisme di Indonesia. Hanya dengan cara itu, maka jurnalisme dengan spirit kebangsaan dapat dipertahankan, bahkan perlu dikembangkan.

Tak bisa dinafikan, Jakob adalah insan pers berpengaruh dan berperan besar bagi persatuan bangsa. Gaya jurnalistik Jakob yang mengoreksi pemerintah secara santun dan mengandung solusi perlu jadi ilham dan inspirasi bagi para pelaku media pada masa digital ini.

Perasaan untuk tidak boleh berbangga terhadap kehebatan karena memang manusia diliputi oleh kesalahan, inilah dasar jurnalisme Jakob Oetama yang tidak mau menghakimi atau mengadili. Jurnalismenya yang tak mau menampar atau menegur dengan keras. Jurnalisme itu dijalankan dengan moderasi, prinsip yang percaya, bahkan kebenaran pun harus disampaikan dengan halus dan lembut bukan dengan menista keras, namun intuisi perlu dikedepankan untuk dapat memberikan pencerahan.

Di samping itu, Jakob sering mengutarakan kepada semua wartawan dan karyawannya, bahwa roh koran itu tak lain adalah kebudayaan. Untuk mewujudkan gagasannya, pada tahun 1986 didirikan Bentara Budaya, tempat untuk mengakomodasi dan menginisiasi hasil karya para seniman baik itu seni rupa, seni pertunjukan, seni media rekam, dan seni sastra. Pak Jakob memberi rumusan bagi lembaga ini, kurang lebih intinya sebagai tempat untuk memberikan  kesempatan bagi ekspresi-ekspresi kebudayan yang termarjinalkan.

Pernah pada suatu kesempatan Pak Jakob mengatakan merasa ketinggalan dalam  wawasan kesenian. Itulah sikap kerendahan hati yang selalu mengkristal dalam pribadi beliau, di luar gagasan, sikap, kecenderungan, serta langkah besar dalam memajukan kebudayaan.

Kunci kerendahan hati itulah yang membuat Kompas tetap bertahan hingga hari ini yang tetap konsisten dengan mengedepankan jurnalisme kemanusiaan dalam menjalankan segala aktivitasnya. Prinsip jurnalisme kemanusiaan itu tak akan lekang oleh waktu karena terkait dengan dinamika kehidupan sosial yang cenderung dinamis.

Kembali di malam yang semakin larut, penulis membuka kembali kliping tulisan yang pernah dimuat di harian Kompas dan kartu ucapan dari Pak Jakob. Tulisan yang pernah dimuat di Kompas dan kartu ucapan tersebut merupakan harta yang tak ternilai harganya.

Selamat jalan Pak Jakob. Inspirasi dan karya-karyamu tak akan lekang oleh waktu dan selalu menjadi motivasi kami untuk selalu menorehkan tulisan yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan.


 

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.

Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magel

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar