Pesan Moral Narasi Raja Rudrayana Dalam Relief Candi Borobudur

Dilihat 7571 kali
Panel 64 Relief Avadana yang mengisahkan Raja Rudrayana menerima kedatangan para pedagang dari Kerajaan Rajagraha

Candi Borobudur sebagai karya monumental putra Nusantara sampa saat ini tetap melegenda. Gaungnya sudah dikenal publik baik level nasional maupun internasional. Sebagai bangunan suci peninggalan agama Buddha, di dalamnya memuat banyak relief yang tak ternilai manfaatnya sebagai kajian ilmu maupun wawasan kebudayaan.


Rangkaian relief-relief tersebut sangat eksotis yang menggambarkan kehidupan Sang Buddha Gautama. Selain itu, juga dapat dijumpai relief yang menggambarkan suasana alam yang permai, perahu bercadik, bangunan tradisional, kehidupan sosial budaya,  dan masih banyak lainnya. Bahkan Borobudur diyakini memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.


Relief-relief tersebut terdapat di hampir semua tingkatan dinding candi, kecuali pada tingkatan stupa teratas. Pahatan relief pada dinding Candi Borobudur termasuk dalam klasifikasi jenis seni rupa murni, yang artinya tercipta untuk dinikmati keindahan dan keunikannya saja.

 

Gugus Relief


Candi Borobudur menjadi istimewa karena adanya 2.672 panel relief. Sejumlah 1.460 panel relief cerita (naratif), dan 1.212 panel relief dekoratif. Relief naratif terdiri atas lima gugus relief. Gugus relief tersebut berkelindan satu sama lain yang di dalamnya terdapat ajaran moral sebagai tuntunan hidup manusia.


Pada dasarnya relief adalah suatu seni pahat atau ukiran tiga dimensi pada media batu. Relief biasanya terdapat pada bangunan candi, monumen atau prasasti. Ukiran atau pahatan pada relief memiliki arti mendalam. Pada relief terukir dengan indah cerita sejarah masa lampau yang berisi ajaran kehidupan.


Salah satu gugus relief yang ada di Candi Borobudur adalah Relief Avadana. Keunikan dari Relief Avadana ini, terdiri dari 120 panel di lantai 3, dan 100 panel di lantai 4. Dalam relief Avadana ini berisi kisah-kisah moral yang dapat menjadi tuntunan hidup, seperti kisah Maitrakanyaka dan Rudrayana (Bambang Eka P., 2021).


Kisah Raja Rudrayana


Pada bagian relief Avadana terdapat banyak kisah cerita menarik. Salah satunya cerita dengan tajuk Raja Rudrayana. Menariknya kisah ini ditulis selama Buddha masih hidup. Dikisahkan Raja Bimbisara memerintah di negara Rajagraha yang sangat disegani oleh rakyatnya. Sedangkan jauh di negeri seberang, Raja Rudrayana memerintah negeri Roruka. Kebijaksanaan sang raja dalam memerintah negeri tersebut sangat dihormati oleh rakyatnya sampai kesohor ke pelosok negeri.  


Kesohoran Kerajaan Roruka menjadikan banyak  pedagang dari mancanegara termasuk pedagang negeri Rajagrha mengunjungi kerajaan tersebut. Di sana terjadi pertukaran hadiah di antara dua negara yang lazim dilakukan untuk merajut ikatan persaudaraan. Adapun pertukaran hadiah terakhir, Raja Bimbisara memberikan  lukisan Buddha dengan beberapa ajaran yang tertera di atas lukisan tersebut.


Raja Rudrayana terkesan sekali pada pembelajaran Buddha walaupun hanya lewat lukisan. Malahan akhirnya baginda memohon kepada Buddha agar memberikan pembelajaran moral kepada kerabat istana. Buddha pun mengabulkan permohonannya. Budha mengutus Biksu Mahakatyayana memberi pembelajaran kepada kerabat istana putra. Sedangkan khusus untuk kerabat istana putri, Buddha mengutus Biksuni Saila.


Selama mengikuti pembelajaran moral tersebut Raja Rudrayana mengetahui makna kehidupan yang sejatinya dan ingin menjadi pengikut Buddha untuk menjalani kesempurnaan sebagai biksu. Dengan kebulatan tekadnya, baginda rela menyerahkan kekuasaannya kepada putranya Sikhandi. Selain itu baginda juga menunjuk dua orang kepercayaannya yaitu, Hiru dan Bhiru, menjadi penasihat kerajaan.


Mendengar situasi kerajaan yang ditinggalkan kacau balau, Rudrayana yang sudah ditahbiskan menjadi biksu memutuskan untuk kembali ke Roruka. Sebelum sampai ke Roruka, di tengah perjalanan Biksu Rudrayana dibunuh oleh para prajurit utusan Raja Sikkandi, yang tidak berkenan ayahnya kembali ke kerajaan.


Tindakan jahat Raja Sikhandi menjadikan para dewata tidak tinggal diam. Tidak berselang lama kerajaan dihancurkan sampai tertelan masuk ke dasar bumi dengan tidak menyisakan apapun. Sedangkan kerabat istana yang masih setia pada mendiang Raja Rudrayana terselamatkan.


Mereka menyelematkan diri lewat jalur laut dengan menggunakan kapal. Termasuk Haru dan Bhiru yang pernah menjadi kepercayaan Raja Rudrayana, juga Sang Biksu Mahakatyayana. Karena berpihak pada kebajikan,  mereka dapat menyelematkan diri dan mendapatkan kebahagiaan sampai akhir hidupnya.  


Pesan moral dari cerita tersebut dapat menjadikan kaca benggala, bahwa tindakan lalim akan mendapat karmanya. Sedangkan mereka yang selalu berbuat kebajikan akan mendapatkan keselamatan abadi. Di samping itu, kerelaan Raja Rudrayana untuk meninggalkan kehidupan duniawi setelah mendapat pencerahan dari Budda menandakan, bahwa manusia harus sadar akan jati dirinya dalam melakukan darmanya di dunia ini.


Paparan cerita di atas merupakan sebagian kecil dari narasi yang terdapat dalam relief Candi Borobudur. Kiranya generasi milenial perlu memahami maknanya secara detail melalui seni baca relief yang sekarang ini mulai digalakkan oleh berbagai institusi. Harapannya, bangunan bersejarah yang monumental itu, ke depannya tidak akan kabur pemaknaannya, karena generasi milenial sudah memahami kedalamannya secara detail.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar