Padasan, Tradisi Jawa Jauh Sebelum Adanya Corona

Dilihat 8464 kali
Warga di Borobudur Kabupaten Magelang menggunakan padasan untuk mencuci tangan

BERITAMAGELANG.ID - Saat ini, mencuci tangan menjadi salah satu cara mencegah penyebaran wabah Covid-19.  Sejatinya jauh sebelum menjadi imbauan pemerintah untuk mencegah penularan Covid-19, kebiasaan mencuci tangan itu telah dilakukan masyarakat Jawa di zaman dahulu. Pola hidup itu mereka lakukan setelah seharian melakukan aktivitas di luar dan saat akan masuk ke dalam rumah.


Masyarakat Jawa memiliki kearifan lokal yang bernama padasan yakni sebuah gentong besar dari tanah liat yang di dalamnya berisi air untuk membasuh anggota tubuh seperti tangan, kaki, dan wajah sebelum masuk rumah. 


Pada zaman dahulu, benda bulat tersebut biasanya diletakkan di bagian depan tempat tinggal mereka. Tak hanya digunakan untuk mencuci, padasan yang menjadi tempat air itu juga bisa digunakan untuk bersuci atau wudhu bagi mereka yang beragama Islam sebelum menjalankan ibadah salat. 


Mencuci tangan memang sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa. Hal itu tak lepas dari kondisi alam seperti bertani, beternak, dan berkebun. Tentu saja, hal tersebut membuat badan mereka menjadi kotor. Oleh sebab itu, banyak dari pemilik rumah yang kemudian menyediakan padasan di depan rumah masing-masing agar bisa digunakan selepas aktivitas. 


Sebagian masyarakat di lereng Menoreh atau sekitar Candi Borobudur masih mempertahankan tradisi mencuci tangan dari padasan itu. 


"Sudah 30 tahun lebih, padasan masih dipakai keluarga," kata salah satu warga Karanganyar Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang, Zaenah, Jumat (23/10/2020).


Ibu rumah tangga yang sehari-hari berjualan di Terminal Borobudur ini menceritakan padasan di pojok depan rumahnya merupakan warisan dari orang tuanya. Saat ini keluarga Zaenah memanfaatkan padasan tua berdiameter 20 cm itu untuk cuci tangan dan kaki sebelum masuk rumah.


Sayangnya, tradisi ini mulai ditinggalkan seiring dengan peralihan zaman ke era yang lebih modern. 


Menurut perajin gerabah Dusun Klipoh Banjaran 1 Desa Karanganyar Kecamatan Borobudur, Supoyo mengungkapkan dahulu letak padasan sendiri persis di depan rumah pemilik yang bersinggungan langsung dengan jalanan umum. Tidak sembarangan, penempatan tersebut bukan hanya agar bisa digunakan oleh tuan rumah saja namun juga bisa digunakan oleh orang lain yang kebetulan melintas. 


Bahkan, imbuhnya, setelah wisuh (cuci membasuh) di padasan kita harus masuk rumah lewat dapur, tidak dari pintu utama. Di pawon/ dapur itu kedua kaki dimasukan ke dalam abu luweng atau tungku. Semua prosesi itu, diyakini menghilangkan hawa sial yang dibawa dari luar rumah.


"Orang dulu percayanya untuk menghilangkan sawan, sesangkrah. Dahulu lebih banyak nyokor (tidak pakai alas kaki)," terangnya.


Bentuk padasan biasanya berupa gentong besar yang terbuat dari tanah liat dan diberi lubang pada bagian depan untuk jalan keluar air. Terkadang, pemiliknya juga melengkapi benda tersebut dengan gayung dari batok kelapa yang dalam bahasa Jawa disebut siwur jika ingin menggunakannya dengan cara disiram. 


"Dulu untuk isi padasan dibela-belakan bapak meminta air ke tetangga saat kemarau," kenang pengrajin aneka gerabah berusia 47 tahun ini.


Selain bermanfaat pada sesama, padasan juga menjadi bukti betapa luhurnya kehidupan sosial bermasyarakat di pedesaan yang sarat dengan petuah dan filosofi. Mengajarkan menahan hawa nafsu dengan bijak menggunakan air, serta senantiasa menjaga diri dengan bersuci sebelum masuk ke dalam rumah agar jangan sampai kotoran, virus dan sebagainya ikut terbawa.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar