Kuliner Legendaris Kupat Tahu Pak Lan Tetap Bertahan di Pusaran Sejarah Muntilan

Dilihat 4298 kali
Sajian warung kupat tahu Pak Lan di Sayangan Muntilan Kabupaten Magelang.

BERITAMAGELANG.ID - Menjelang sore, Jalan Pemuda Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang tidak lagi lengang. Hilir mudik kendaraan dan pejalan kaki selalu hinggap di kota tua yang terkenal dengan kuliner tradisionalnya ini. Tenda-tenda pedagang kaki lima, juga terlihat sibuk didirikan sepanjang Jalan Sayangan, jalur tembus ke arah Yogyakarta.


Terpal biru menjadi atap untuk melindungi gerobak tua Kupat Tahu Pak Lan Sayangan. Gerobak bercat biru muda yang mulai hilang warnanya itu berfungsi jadi tempat meracik dan memajang kupat/ketupat. Bagian sisi depan gerobak tertata botol-botol berisi kuah dan wajan penggorengan tahu.


Dahulu saat tontonan bioskop Kartika dan Arjuna masih berjaya, warung kuliner sepanjang Jalan Sayangan menjamur dan tak pernah sepi pembeli.


Namun, semenjak kedua bioskop itu tutup, merosot pula pendapatan para pedagang, termasuk kupat tahu Pak Lan di Sayangan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Keramaian minimarket, toko-toko di sekitar pecinan Jalan Pemuda Muntilan tidak mampu mendongkrak pendapatan para pedagang warung kaki lima Sayangan.


Kini jumlah pedagang Sayangan hanya sekitar 20 warung saja. Mereka kalah dalam persaingan sistem dagang jemput bola dan teknologi aplikasi antar pesanan via internet handpone.


"Dahulu menggunakan anglo (kompor arang dari tanah liat) untuk ratusan porsi. Sekarang pakai kompor gas agar praktis karena yang beli sedikit," ujar Siswanto, penerus ke empat warung kupat tahu Pak Lan Sayangan dalam pekan ini.


Sejak dirintis oleh Pak Ramelan (almarhum) penyajian kuliner ini tidak berubah hingga generasi keempat saat ini. 


Dalam satu piring, perpaduan rajangan kubis, kerupuk, kupat dan tahu panas kian lezat oleh siraman kuah berwarna cokelat yang tidak terlalu kental dan tidak terlalu manis namun gurih di atasnya. Tak lupa taburan bawang goreng, bumbu cabai segar, setengah iris bawang putih, kacang tanah digerus di atas piring.


Siswanto terbiasa mengerjakan itu sendiri, sepenuh hati. Sambil menyapa pembeli, tangannya dengan lincah meracik setiap porsi kupat tahu.


Sesekali tangan kanannya melakukan atraksi unik yakni membalik tahu diatas minyak penggorengan yang panas, tanpa alat bantu apapun.


"Resepnya masih saya pertahankan. Bisa jualan saya membantu warung ini sejak SD di sore hari," kenang Siswanto yang mengaku sudah berusia 49 tahun ini.


Terdapat empat bangku panjang mengapit sebuah meja kayu beralaskan plastik dari sebuah iklan produk teh tubruk dalam warung ini. Bangku kursi itu menjadi jembatan interaksi tanpa batas antar pembeli. Mereka leluasa bercengkerama apa saja sambil menunggu porsi kupat tahu tersaji.


Salah satu pelanggan setia adalah Ponidi. Usai membeli sebuah majalah pertanian bekas di pasar 'loak' Klithikan Terminal Muntilan, pensiunan guru SD ini menyempatkan mampir. Segelas kecil teh hangat mengawali kenangan laki laki berusia 67 ini. Setiap kali ada kesempatan di Muntilan ia selalu mampir di Warung Kupat Tahu Pak Lan. Maklum saja rumahnya jauh di lereng Merapi wilayah Kecamatan Srumbung.


"Dulu, kalau film bioskop bagus yang beli harus antre lama dan duduk di lesehan tikar luar warung," kisah Ponidi seraya tersenyum. Ia ingat saat itu satu piring kupat tahu hanya Rp 1.500/porsi.


Kini, harganya masih sama murahnya, Rp 8.000/porsi dengan bonus teh hangat gelas kecil. Untuk teh gelas besar ada hitungan tersendiri.


Sesekali, sambil menyantap sepiring kupat tahunya, pandangan Ponidi mengarah keluar warung. Seakan ia memastikan bahwa aktivitas warga masih ramai.


"Biasa mas, dibungkus satu, mboten pedes (tidak pedas)," ujarnya sambil membayar dua porsi kupat tahu yang juga menjadi 'klangenan' kesenangan istrinya.


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar