Signifikansi Silat dalam Seni Pertunjukan

Dilihat 1428 kali
Wayang orang sebagai seni pertunjukan banyak mengambil perbendaharaan gerak silat dalam beberapa adegan perang. Sumber foto - KSBN Media Indonesia, 2019

Dalam suatu adegan seni pertunjukan, pada akhirnya dua prajurit itu terlibat dalam pertarungan. Masing-masing pihak ingin segera merobohkan lawan. Keduanya menampilkan gerak dan teknik beladiri yang lincah, dengan tumpuan kuda-kuda yang kokoh. Masing-masing saling menangkis dan melayangkan pukulan. Badan meliuk, menghindarkan hantaman dan tendangan. Tubuh kadang lentur, kadang kaku sekuat tombak. Otot-otot kekar di tubuh dan lengan keduanya itu gilap oleh rembesan keringat. Sementara, kelenturan tubuh itu membuat keduanya ringan saat meloncat, berputar, dan salto di depan lawannya. Jurus demi jurus telah berlalu, hingga salah satunya terkalahkan. Gending srepegan yang mengiringinya pun berakhir.


Pertarungan itu berlangsung lebih dari 10 menit. Sebuah pertarungan yang sungguh indah, seperti layaknya orang menari. Terlebih dengan adanya iringan musik yang menyertainya. Suara tingkahan gendang yang dipukul terampil oleh niyaga berpadu dengan gerak tangan prajurit yang menghantam, kaki yang menendang atau tubuh yang melompat.


Sungguh pertarungan itu sangat mempesona, lantaran memang menjadi bagian pertunjukan di dalam panggung wayang orang atau ketoprak yang dulu banyak dijumpai di tobong-tobong seni pertunjukan tradisional di Jawa. Demikianlah, silat telah demikian inheren atau menyatu dengan dunia seni pertunjukan tradisional. Tentu silat bukan satu-satunya, namun sebagai ilmu bela diri, ia banyak dijadikan basic olah tubuh para seniman panggung.


Klasifikasi Umum


Pada kenyataannya silat memang terdapat di beberapa wilayah di Nusantara, dengan penyebutan yang beragam. Di Madura dikenal dengan penca, .Di Sumatera disebut silek. Di Bali disebut mancak atau encak. Komunitas Bugis menyebutnya mamencak, sedang di Makasar disebut akmencak. Di daerah Banjarmasin dikenal dengan sebutan bakuntau. Sementara di Jawa Barat bela diri ini disebut penca atau ameng (Majalah Gong No. 77/VIII/2006).


Tentu masih banyak nama yang dikenakan untuk menyebut bela diri ini. Namun dari sekian banyak itu, terdapat tiga klasifikasi umum yang bisa diterakan kepadanya. Pertama, yang benar-benar berkait dengan  tradisi. Bela diri ini hadir sebagai bagian dari dan dikhususkan untuk upacara atau ritual tradisi itu sendiri. Aturan-aturannya sudah sangat jelas dan tidak mudah diganti. Pelakunya pun sudah pasti dari anggota komunitas tradisi itu. Hampir tidak mungkin orang luar bisa masuk bergabung di dalamnya.


Kedua, seni bela diri yang menggali dari tradisi dan dikembangkan dengan attitude modern. Contohnya kelompok seni bela diri Setia Hati, Perisai Diri, Setia Teratai Hati, dan Nusantara. Dan ketiga, seni bela diri yang jelas-jelas impor. Jenis seni bela diri  ini terutama datang agak belakangan yang datang dari Jepang, Cina, dan Korea seperti karate, yudo, tae kwon do, ju-jitsu, aikodo, yudo, dan lainnya.


Jelaslah bahwa di dalam silat terkandung unsur bela diri. Ini suatu naluri sekaligus kebutuhan pokok dari kehidupan manusia yang asasi dan arkais, yaitu survival: bagaimana orang harus bertahan untuk hidup. Cerita lama sejarah manusia yang bertahan atau melawan binatang buas, dan berperang dengan sesama manusia adalah episode sejarah yang menyertakan silat  sebagai satu unsur kebutuhan sekaligus daya pokok manusia untuk dapat survive dan regenerasi.


Peran Signifikan


Bila ditelisik lebih jauh, ada banyak hal yang menunjukkan silat memiliki peran sangat signifikan dalam dunia seni pertunjukan. Di beberapa tradisi seni pertunjukan di Nusantara, sebut misalnya ketuk tilu, ibing pencak, bajidoran, dan jaipongan di Jawa Barat, ketoprak di Jawa Tengah, atau lenong di Betawi, serta seni pertunjukan di daerah lain, beberapa jurus geraknya sering digunakan sebagai repertoar seni pertunjukan.


Di dalam Lenong Betawi, silat disajikan sebagai unsur atraksi yang menghibur penonton. Jurus-jurus atau gerakan-gerakan silat digunakan untuk menggambarkan  pertarungan yang dilakukan oleh para pendekar Betawi. Di dalam dunia seni tari atau teater kontemporer beberapa anggota atau kelompok bahkan menganggap silat berperan penting untuk membentuk stamina fisik yang prima, seperti pernafasan, kekuatan, dan kelenturan tubuh.


Dengan bekal kemampuan silat, adegan berkelahi dalam seni pertunjukan akan menjadi  lebih indah. Contoh penting dalam kaitan ini adalah tarian Handaga-Bugis. Suatu repertoar tari klasik yang menggambarkan pertarungan antara Panji Handaga dari kerajaan Jenggala Manik melawan pendekar dari negeri seberang yang berakhir dengan persahabatan. Kisah dalam cerita Panji yang sudah sangat melegenda dalam komunitas Jawa. Di sini, silat menjadi unsur penting dalam detail-detail geraknya. Seperti menangkis, menghantam, menendang, atau salto berjumpalitan di udara. Di sini penari, harus juga peka terhadap pola irama dari gending-gending yang dimainkan.


Pada dasarnya silat dapat membantu ketangkasan, kelincahan,  kewaspadaan, serta kepercayaan diri seniman pelakunya. Sebagaimana zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VIII di Kasultanan Yogyakarta, semua penari klasik diharuskan mempunyai bekal  dasar bela diri yang mumpuni. Karena pada saat itu terdapat satu prinsip, setiap adegan  harus dilakukan sungguh-sungguh tanpa meninggalkan kaidah estetika seni tarinya.


Di samping itu, tentunya para penari harus konsisten mengikuti keindahan gerak harmoni dengan irama yang mengiringinya. Tentunya dengan dilambari dengan bekal menguasai bela diri silat, karakterisasi peran dalam tari atau wayang orang semakin bertambah. Lebih dari itu, silat  juga akan  meningkatkan percaya diri penari, sehingga tak mudah grogi, demam panggung, bingung, dan sebagainya.


Dalam proses perjalanan waktu, silat yang dulunya merupakan tindakan bela diri, kini elaborasinya sangat signifikan sampai ke simpul-simpul seni pertunjukan. Internalisasi atau kedalaman jurus-jurus dalam silat tampaknya mengajarkan filsafat tersendiri, berlatih gerak yang keras untuk menumbuhkan nurani yang halus. Suatu pelajaran humaniora dengan prinsip, semangat juang yang kuat untuk menumbuhkan lembutnya nurani, seperti kaidah-kaidah yang muncul dalam estetika seni pertunjukan.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar