Seni Tradisi Sebagai Media Promosi

Dilihat 2694 kali

Bila kita menengok ke belakang kurang lebih 30 tahun lalu, masih teringat sebuah mobil pick up melintas di jalan dan berhenti di perempatan desa atau tempat keramaian. Dari dalam mobil muncul beberapa tokoh punokawan (abdi) dalam wayang yang menari dan menyanyi. Isi tari dan nyanyian tersebut menyiratkan pesan bahwa masyarakat harus sadar kebersihan lingkungan.


Di samping itu, pesan tersebut mengajak masyarakat untuk menonton pertunjukan wayang orang di tempat pertunjukan yang sudah direncanakan. Dengan gerak-gerak komikal yang lucu, tak urung masyarakat berbondong-bondong mengerumuninya. Sambil para penghibur itu mempertontonkan kebolehannya, seorang promotornya di depan mikrofon yang disambungkan dengan pengeras suara sejenis toa, memromosikan wayang orang yang akan pentas malam itu sembari memberi pesan agar masyarakat sadar lingkungan melalui hidup sehat dengan menjaga kebersihan.


Demikianlah, cara promosi tempo dulu. Mendatangi konsumen dengan maksud menyedot pengunjung untuk membeli langsung barang yang dipromosikan. Seperti pasar tiban, kedatangannya di sore hari itu selalu dibanjiri pengunjung dari pelosok kampung di sekitarnya.


Masih juga teringat dalam benak kita puluhan tahun lalu, sebelum acara ketoprak (jenis teater tradisional Jawa) di TVRI ditayangkan, selalu diawali dengan promosi Mbakyu Waljinah berdendang menawarkan resep kesehatan dengan minum jamu tradisional. Maka tak mengherankan iklan, ketoprak, dan pemirsanya sudah menyatu dalam satu kesatuan.


Hal senada juga dilakukan oleh produk penghilang sakit flu yang kondang dengan slogan berbunyi Oskadon Pancen Oye. Iklan tersebut menggandeng dari Karangpandan Surakarta, Almarhum Ki Manteb Sudarsono, untuk menjadi juru bicara atas eksistensi produk penghilang sakit flu tersebut.


Pendukung Setia


Dalam konteks ini, wayang kulit yang merupakan salah satu produk karya seni tradisional yang masih banyak memiliki pendukung dan penonton setia, dirangkul oleh produsen obat flu sebagai media komunikasi visual untuk menginformasikan keberadaan sebuah obat flu yang memiliki khasiat meredakan penyakit flu. Ilustrasi tersebut di atas mengindikasikan, bahwa karya seni tradisional, baik berbentuk seni pertunjukan maupun seni rupa sesungguhnya layak dijadikan narasumber, rujukan, atau inspirasi dari proses kreatif pembuatan karya seni desain iklan. Bahwa alam raya, alam pedesaan yang eksotis, dan berbagai situs budaya layak dieksplorasi secara positif dan dielaborasikan sesuai dengan zamannya.


Memang tak bisa dinafikan dalam jagad yang berkembang kian pesat ini, percepatan dan akselerasi dunia komunikasi menjadi semakin dasyat. Kondisi yang menguntungkan seperti itu, mengakibatkan peran dan posisi desain iklan berikut desainernya mampu menempati singgasana yang cukup bergengsi.


Bisa dikatakan demikian dikarenakan desain dan desainer tersebut diharapkan menjadi pionir dalam mengatasi perubahan dan pembaruan. Implikasinya, secara konseptual  desainer selalu berusaha memecahkan masalah komunikasi bisnis melalui bahasa seni visual berdimensi kultural. Semuanya itu dilakukan untuk mencari jawaban tentang kebutuhan mental dan material manusia melalui kreativitasnya. Diharapkan nantinya mampu memenuhi tuntutan fungsional dan mengandung estetika atas produk atau jasa yang dikomunikasikannya (Sumbo Tinarbuko, 2005).


Potensi Budaya Lokal


Dengan memanfaatkan potensi budaya lokal dan seni tradisi sebagai sumber energi kreatif penciptaan karya desain iklan, maka keunikan yang dimunculkan dari lokalitas budaya lokal berikut komunitas pendukungnya akan memberikan kontribusi positif bagi elaborasi jagat periklanan Indonesia.


Selain itu, ketika para kreator dan desainer periklanan senantiasa mengedepankan lokalitas budaya lokal dapat semakin membuncahkan keunikan periklanan Indonesia. Dampak turunannya akan memunculkan gerakan periklanan yang mengedepankan konsep kreatif dengan pendekatan kebudayaan yang berbudaya.


Sebab, sejatinya iklan dan proses periklanan merupakan salah satu manifestasi kebudayaan massa. Artinya, sebuah kebudayaan yang tidak hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli barang dan jasa, tetapi turut juga mendedahkan nilai tertentu yang terpendam di dalamnya. Oleh karena itulah, iklan yang sehari-harinya kita temukan di berbagai media massa dan elektronik dapat dikatakan bersifat simbolik. Maknanya, iklan tersebut dapat menjadi semiotika sejauh imaji yang ditampilkan membentuk dan merefleksikan nilai yang hakiki.


Pada prinsipnya dengan lebih mengedepankan kearifan budaya lokal, media iklan turut memberikan kontribusi besar untuk tetap survivalnya nilai-nilai kultural yang sarat akan kandungan aspek humaniora tersebut yang kini mulai dijauhi oleh generasi muda.



(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar