Oleh Ch. Dwi Anugrah
Dalam upaya mencegah mata rantai penularan Covid-19, dibutuhkan kepedulian dari semua pihak termasuk seniman. Karena itu, Didi Kempot menggelar konser amal yang salah satu tujuannya, mencegah penyebaran Covid-19 dengan mengajak jutaaan penggemarnya yang tergabung dalam Sobat Ambyar untuk tidak mudik.
Konser amal yang berlangsung dari rumahnya mendulang sukses luar biasa. Yang pasti semua kerja keras yang dilakukan oleh seorang Didi Kempot dalam menggelar konser tak sia-sia. Sukses menyita jutaan pemirsa, termasuk Presiden Joko Widodo, donasi yang terkumpul dalam konser amalnya pun tembus angka di atas Rp 5 miliar. Benar-benar ambyar dan spektakuler untuk sebuah seni pertunjukan yang dikemas dalam konser amal (https://www.kompasiana.com, 11/4-2020).
Sukses besar konser amal Didi Kempot tersebut mengindikasikan bahwa fungsi seni tidak hanya sekadar sebagai hiburan namun mempunyai multi fungsi yang sangat kompleks. Sebagaimana sepak bola, ternyata musik dapat menjadi magnet semua komunitas untuk terlibat dalam berbagai aksi termasuk kepedulian terhadap sesama.
Musik Campursari
Nama Didi Kempot tidak bisa dilepaskan dengan musik campursari yang sampai sekarang melekat dalam titian kariernya sebagai seniman. Campursari adalah formula paling akhir dari sinkretisme kesenian Jawa dalam hal ini musik. Bisa diingat kembali perjalanan musik di Jawa Tengah, taruhlah misalnya di tahun 40-an dengan munculnya lagu "Bengawan Solo" yang sampai saat ini masih membikin orang-orang mancanegara kesengsem. Karya komponis gesang itu disebut keroncong (semacam musik Portugis yang diartikulasikan secara lokal). Musik jenis itu mengalami evolusi lebih lanjut dengan munculnya generasi pencipta pada dekade berikutnya setelah Gesang di antaranya adalah Anjar Any. Di tahun 60-70 an mulai populer musik yang disebut berjenis langgam antara lain karya Anjar Any Yen ing tawang ana lintang.
Kemudian pada era 1980-1990 an musik-musik yang ada sebelumnya dicampur aduk sedemikian rupa dengan lagu-lagu lama yang diarensemen dengan format baru. Genre musik tersebut sering dikenal dengan sebutan campursari. Tokoh yang tidak asing pada waktu itu adalah Almarhum Manthous dengan lagu-lagu legendarisnya seperti, Nyidhamsari, Tak Eling-Eling, Potretmu , Panjerina dan masih banyak lainnya yang telah diproduksi menjadi ribuan kaset maupun CD di pasaran bebas.
Kekuatan campursari sebagai genre musik tradisional adalah mampu menggiring semua jenis musik masuk dalam garapannya. Di samping praktis, juga dapat "mewakili" genre musik untuk memenuhi banyak keperluan. Bermula dari perpaduan keroncong dengan gamelan, sekarang malah bisa apa saja, dangdut, pop, musik rakyat, dan elemen musik jenis lainnya. Dia juga sangat menghibur. Mudah dicerna, tak banyak tuntutan kualitas atau profesionalisme konvensi yang ketat seperti genre musik klasik (Majalah Gong, 2001).
Maka tak mengherankan dalam konser amal, dari lima belas lagu yang dilantunkan Didi Kempot di antaranya Ketaman Asmara, Banyu Langit, Cidro, grafik statistik pemirsa yang memberikan donasi cukup tinggi. Fenomena yang tak terbantahkan tersebut menandakan, bahwa musik campursari sampai sekarang cukup melegenda dan mendapat tempat di komunitas pendukungnya.
Fungsi Sosial
Pada prinsipnya selama karya seni tersebut disuguhkan atau dipamerkan untuk orang lain, maka dari situlah fungsi sosial akan hadir. Dalam hal ini, kehadiran seni haruslah dapat dinikmati oleh banyak orang. Sebagai contoh karya seni yang berujud lagu perjuangan, kepahlawanan, atau tematik kehidupan. Kehadirannya di berbagai acara strategis akan mempunyai nilai sosial tinggi, karena dapat menstimulai perasaaan manusia untuk memantik semangat atau empati sosialnya pada publik.
Adapun terciptanya fungsi sosial seni dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor determinan.
Pertama, ada kecenderungan memengaruhi perilaku kolektif. Penciptaan dalam dunia seni mengandung makna untuk mewujudkan sesuatu dengan situasi yang sudah ada. Situasi Indonesia yang sedang dilanda pandemi ini, tentunya peran seni sangat dibutuhkan untuk memberikan stimulasi agar mata rantai sumber pandemi tersebut dapat diputus. Melalui seni kolektifivitas komunal dapat disatukan agar tujuannya dapat tercapai.
Kedua, penciptaan seni ditujukan atau dipergunakan dalam situasi publik. Dalam situasi publik apapun, seni mempunyai fungsi strategis untuk dapat memberikan pencerahan agar publik dapat termotivasi.
Ketiga, mengekspresikan aspek-aspek sosial atau bela rasa. Ekpresi seni pada dasarnya tidak hanya sekadar menonjolkan aspek estetika, namun dibaliknya mengandung nilai-nilai humaniora yang sarat akan pesan-pesan moral. Seperti dalam lagu Ora Iso Mulih, Didi Kempot menghimbau lewat lagunya, agar semua masyarakat perantau tidak mudik dulu. Sebab di tengah pandemi seperti sekarang ini, akan sangat berbahaya jika masyarakat melakukan mudik.
Dengan demikian bisa diambil tautan benang merah, bahwa dibalik kesuksesan konser amal Didi Kempot beberapa waktu lalu, di dalam seni memuat kekuatan luar biasa pada aspek solidaritas. Dalam solidaritas terdapat aspek bela rasa yang mencakup kemurahan hati dan belas kasih. Dalam saat-saat kita merasa sakit, hancur, bahkan menderita, seseorang hadir bersama-sama di tengah kita. Kehadiran tersebut akan dapat memberi pencerahan, perhatian, dan cinta kasih.
Tak bisa dinafikan, bahwa kita harus saling peduli dengan sesama untuk menghadapi pandemi Covid-19. Kepedulian tersebut bisa dilakukan dengan cara apa saja. Bisa berbagi, saling mengingatkan, tetap berada di rumah, jaga kesehatan, termasuk jangan mudik. Medianya bisa apa saja, termasuk seni musik. Ternyata musik bisa menjadi magnet yang mampu menggerakkan banyak orang untuk ikut beramal dan berdonasi membantu sesama yang membutuhkan.
Ch. Dwi Anugrah
Ketua Sanggar Seni Ganggadata
Jogonegoro, Mertoyudan, Kab. Magelang
0 Komentar