Oleh ; Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum*)
MASYARAKAT Jawa sangat kental dengan nilai tradisi dan kearifan lokal. Tak hanya untuk kepentingan manusia dengan manusia, namun orang Jawa sangat identik dengan budaya religiusitas yang dibalut dengan kearifan lokal.
Sikap religiusitas masyarakat Jawa yang sinkretis tersebut mempengaruhi dinamika dan varian budaya Jawa dalam kurun waktu yang cukup lama. Symbolic interaction dalam masyarakat Jawa melahirkan identitas dan jati diri dalam sebuah sistem kehidupan yang khas dan unik. Sehingga munculnya istilah Islam Kejawen sebagai akibat akulturasi budaya Jawa dan Islam.
Dalam hal ini, mitos, magi, religi, mistik dan ilmu pengetahuan bercampur aduk hidup rukun berdampingan dalam masyarakat Jawa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Suwardi Endraswara (2018:3) bahwa religiusitas Jawa tak lain adalah mistik kejawen. Mistik kejawen adalah saka guru (empat tiang penyangga) kehidupan kejawen. Karena itu, jika kejawen tanpa mistik, maka pudar pula kejawen tersebut. Kejawen dan mistik telah menyatu, menjadi sebuah ekspresi religi mistik kejawen.
Tipikal tradisi Jawa yang kental akan penjelajahan wilayah gaib sebagai konsekuensi adanya interaksi manusia terhadap lingkungan alam dan seluruh isinya. Sebab menurut budaya Jawa, alam semesta bukan hanya dalam bentuk pandangan fisik (mikrokosmos) tetapi melampauinya dalam sebuah alam metafisik (makrokosmos), yang berupa simbol-simbol, tanda, gejala alam, dan sebagainya yang saling bersinergi membentuk sebuah realitas yang utuh dan sistemik.
Untuk itu, manusia Jawa selalu mencoba mencari harmoni antara alam makrokosmos dan mikrokosmos. Cara yang banyak ditempuh adalah melalui âlakuâ kebatinan atau ritual mistik Kejawen, untuk menemukan rasa sejati dalam penggambaran sukma. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Petir Abimanyu (2021:34) bahwa di dalam masyarakat Jawa, ritual selamatan atau slametan menjadi main stream perilaku mistik kejawen. Di dalamnya terdapat simbol-simbol atau perlambang berupa sesaji, mantra, uba rampe, dan syarat-syarat tertentu.
Seperti halnya ritual dalam menyambut bulan Suro. Ritual 1 Suro adalah ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa ketika masuknya bulan Muharram atau dalam penanggalan Jawa disebut dengan bulan Suro atau Suran. Tradisi ini telah dilakukan orang Jawa sejak zaman Mataram Islam masa pemerintahan Sultan Agung, sebab berawal dari beliaulah lahirnya kalender Jawa yang awalnya berdasarkan tahun Saka agama Hindu, disesuaikan dengan Tahun Baru Islam Hijriah, tepatnya tahun 1633 Masehi atau 1555 dalam kalender Jawa.
Malam satu Suro memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Jawa, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, masyarakat Jawa memandang nilai-nilai spiritual dan mistik dalam pergantian tahun baru Jawa sebagai salah satu acuan dalam mengarungi kehidupan.
Kedua, masyarakat Jawa tradisional percaya, jika malam satu Suro merupakan malam keramat atau sakral, terlebih jatuhnya tepat pada hari Jumat. Sebab secara kasat mata, bulan Suro merupakan momen di mana seluruh gerbang gaib terbuka. Pergantian tahun dianggap waktu bertemunya dunia gaib dan dunia manusia dalam kosmologi orang Jawa. Oleh karena itu, banyak masyarakat melakukan interaksi khusus dengan makhluk gaib sesuai kepercayaan mereka, sehingga dijuluki sebagai bulan keramat.
Ketiga, bulan Suro bagi masyarakat Jawa dianggap bulan prihatin. Tidak tepat melakukan kegiatan pesta di bulan seperti itu, karena diyakini akan berakibat tidak baik jika ketentuan itu dilanggar. Demi mendapat keselamatan, pada bulan Suro sangat dianjurkan untuk kegiatan tirakatan atau mendekatkan diri kepada Tuhan.
Budayawan Ahmad Tohari dikutip dari goodnewsfromindonesia.id juga menjelaskan bahwa bulan Suro dianggap bulan prihatin bagi masyarakat Jawa karena terkait dengan tragedi Karbala yang menewaskan cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW, Husain Ali bin Abi Thalib. Sehingga larangan menggelar hajatan pada bulan Suro itu muncul sebagai bentuk penghormatan atas meninggalnya dua cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW.
Berikut ini adalah beberapa ritual mistis masyarakat Jawa untuk menyambut bulan Suro.
Semedi
Semedi berasal dari bahasa Sansekerta samadhi, sam yang berarti besar, dan adhi yang berarti bagus atau indah. Semedi memiliki tujuan untuk meraih budi yang besar, indah dan suci. Dalam hal ini, semedi adalah jalan untuk mencapai intisari mistik yaitu hubungan langsung dengan Tuhan atau dengan kata lain laku tarekat dan hakikat untuk mencari makrifat. Dengan semedi, manusia mengingat jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sangkan paraning dumadi) dan sebagai bentuk kewaspadaan dari segala bentuk godaan dan perbuatan buruk.
Dalam ritual mistik kejawen, semedi melibatkan rasa yang dinamakan rasa sejati. Ngelmu rasa sejati ini dapat dicapai melalui: eneng (diam), ening (menjernihkan pikiran), enung (merenung, mawas diri), dan nir ing budi (suwung). Langkah inilah yang dilakukan agar manusia mampu menemukan Tuhan dalam hatinya.
Saat malam 1 Suro datang, masyarakat Jawa biasanya akan memilih untuk melakukan semedi di tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.
Di daerah Banyuwangi misalnya, terdapat beberapa tempat yang dijadikan jujugan oleh warga untuk semedi seperti Padepokan Purwa Ayu Mardi Utama, Pancur atau Parang Ireng, Rowo Bayu serta Alas Purwo.
Di kawasan Kabupaten Malang, Jawa Timur, juga terdapat tempat semedi untuk menyambut malam 1 Suro seperti Candi Sumberawan, yang terletak tidak jauh dari Candi Singosari.
Sebagai tempat wisata alam yang cukup terkenal di kalangan masyarakat, Puncak Suroloyo di kawasan Perbukitan Menoreh di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak hanya menawarkan panorama yang indah, namun juga kerap dikunjungi orang untuk bersemedi atau tapa di malam 1 Suro. Masyarakat di sekitar banyak yang percaya jika puncak tersebut adalah pertemuan dua garis dari utara ke selatan dan dari barat ke timur Pulau Jawa. Ada juga yang percaya jika tempat tersebut adalah kahyangan para Dewa hingga terdapat sumber mata air keramat yang menjadi pertapaan Janaka yang disebut Pertapan Mintorogo.
Kirab Pusaka Malam 1 Suro baik yang dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta ataupun Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga diikuti proses semedi atau perenungan. Peserta Kirab dan semedi harus memakai pakaian Jawa lengkap. Pakaian itu dengan warna dasar cemeng (hitam) dhuwungan untuk laki-laki, serta pakaian Jawa nyampingan ukel tradisi Jawa cunduk penyu bagi perempuan. Selain Pangeran dan Bupati Sepuh, tak dibolehkan memakai pakaian batik motif parang, lereng dan beludru.
Sesirih
Sesirih dalam bahasa Jawa bermakna melakukan laku spiritual keprihatinan (Ki Sudadi, 2020:205). Sesirih (sirih) dilakukan dengan cara mengurangi makan minum dan kebutuhan hidup jasmani sehari-hari sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa (Harmanto Bratasiswara, 2000:711). Dalam hal ini, sesirih erat kaitannya dengan upaya meredam segala nafsu. Sesirih juga bermakna menjaga kesucian lahir dan batin.
Masyarakat Jawa meyakini bulan Suro sebagai bulan untuk menjalankan laku sesirih atau laku prihatin seperti puasa patigeni, puasa mutih, puasa ngrowot, puasa ngebleng, kungkum, atau tirakat.
Secara harfiah, patigeni berarti mematikan api. Inti dari puasa patigeni adalah mematikan hawa nafsu yang ada di dalam jiwa, tak hanya sebatas mematikan lampu penerangan semata. Selama melakukan puasa patigeni, segala kebutuhan duniawi dilarang. Termasuk makan, minum, tidur, berbicara, bahkan terkena sinar matahari atau api. Oleh karena itu, puasa ini biasanya dilakukan di ruangan gelap dan tertutup. Puasa ini tentu saja dilakukan oleh orang Jawa sebagai sarana penguatan batin dan simbol keprihatinan.
Puasa mutih adalah puasa yang dilakukan dengan tidak makan atau minum selain nasi putih dan air putih. Istilah ini dimaknai secara filosofis bahwa orang yang melakukannya akan menjadi putih jiwanya, bersih hatinya, dan mendapat keberkahan dari Allah SWT.
Puasa ngrowot adalah puasa yang melarang mengkonsumsi nasi atau makanan berbahan dasar beras. Kata ngrowot berasal dari bahasa Jawa yang berarti akar atau umbi-umbian. Orang yang menjalankan puasa ini hanya boleh makan sayuran, buah-buahan, singkong, sagu, jagung, dan umbi-umbian lainnya.
Tradisi âkungkum jamasâ atau berendam di sungai besar, sendang, atau sumber mata air tertentu pada malam 1 Suro atau hari Asyura sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam dengan tujuan untuk tirakat dan mensucikan diri. Disamping untuk mendapatkan berkah, keselamatan, serta pengkabulan akan keinginan yang diharapkan, ritual kungkum juga diyakini sebagai sarana untuk membersihkan diri dari kotoran hati.
Lokasi kungkum yang paling sering didatangi warga misalnya ada di Tugu Suharto, tepatnya di pertemuan arus sungai antara Kali Garang dan Kali Kreo. Sungai itu berada di Kelurahan Bendan Nduwur, Kecamatan Gajah Mungkur, Semarang. Lokasi ini ditandai dengan monumen setinggi sekitar 8 meter, yakni Tugu Soeharto. Konon zaman dahulu menjadi tempat bertapa Presiden kedua Indonesia, Soeharto.
Sesuci
Sesuci artinya mensucikan diri maupun benda pusaka atau jamasan pusaka. Benda pusaka itu dianggap sakral serta sebagai penggambaran diri seseorang, sehingga harus dipelihara dan dirawat.
Masyarakat Jawa juga percaya bahwa dengan melakukan jamasan pusaka, mereka akan dihindarkan dari berbagai kesialan. Karena itu tradisi pencucian atau memandikan benda pusaka juga mempunyai filosofi untuk menghilangkan energi negatif atau pengaruh jahat yang mencoba melekat pada pusaka tersebut.
Pencucian benda pusaka atau jamasan pusaka sudah menjadi ritual Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta setiap bulan Suro. Tradisi ini dilakukan pada setiap Selasa Kliwon selama bulan Suro. Pihak yang diberikan tugas untuk melaksanakan Jamasan Pusaka atau membersihkan keris dan benda pusaka adalah para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.
Ritual jamasan atau mencuci keris ataupun benda pusaka lainnya juga dilakukan oleh masyarakat umum di lokasi Pantai Parangtritis, Jawa Tengah. Tempat itu akan menjadi sangat ramai di malam 1 Suro sebab beberapa orang berdatangan untuk melakukan kegiatan melarung.
Di beberapa daerah di daerah Jawa, dalam upacara jamasan pusaka juga dihidangkan âbubur Suroâ yang melambangkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh. Bubur Suro dalam tradisi terdiri dari bubur nasi yang disajikan dengan berbagai lauk pelengkap dan diberikan pada masyarakat yang melihat langsung upacara sakral.
Sarasehan
Sarasehan diartikan sebagai temu rasa, bawa rasa, saling mengungkal atau mengasah kemampuan satu sama lain (Harmanto, 2000:10).
Sarasehan kebangsaan dan gelar seni kerap diadakan pemerintahan kota daerah Jawa dalam rangka menyambut malam 1 Suro. Disamping merupakan ajang renungan di malam 1 Suro, melalui sarasehan kebangsaan dan gelar seni yang ditampilkan seakan menegaskan arti nilai persaudaraan bagi seluruh masyarakat yang beragam.
Sarasehan malam 1 Suro juga kerap dilakukan oleh warga pedusunan di daerah Jawa. Mereka berbaur duduk bersama menjadi satu di balai RT. Pada momen itu warga memanfaatkannya untuk diskusi, refleksi akhir tahun dan rembug kampung untuk program ke depan sembari berdoa untuk ngalap berkah dan keselamatan.
Tradisi berupa ritual di bulan Suro ini mendeskripsikan tentang hubungan manusia dengan alam, rasa syukur, dan tindakan spiritual masyarakat Jawa. Oleh karena itu, pelaksanaan ritual malam 1 Suro merupakan bagian dari upaya menjaga keragaman dan kekayaan tradisi untuk tetap lestari. Tentu menjadi bagian tanggung jawab kita bersama untuk ânguri-nguriâ budaya bangsa di tengah berbagai kemajuan dan âkekinianâ.
*)Penulis adalah Akademisi, Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
0 Komentar