Pemanfaatan Lingkungan Belajar Untuk Melatih Berpikir Kreatif Anak

Dilihat 1522 kali
Pemanfaatan lingkungan sebagai media mengasah potensi kreatif anak didik

Oleh: P. Budi Winarto, S.Pd *)


SAAT ini kemampuan berpikir kritis dan kreatif sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam segala bidang kehidupan, oleh karena itu membekali anak untuk bisa berpikir kritis dan kreatif dalam pembelajaran di sekolah sangat mendesak untuk dilakukan oleh guru atau pendidik. Menurut survey yang dilakukan oleh kay (2016) tentang expectation from industry melaporkan bahwa skill yang dibutuhkan sebagai kekuatan untuk menunjang kesuksesan dunia kerja pada lima tahun ke depan adalah critical thingking (78%), IT (77%), Inovation (74%), heath and wellness (76%), personal financial responsibility (72%), diversity (67%), entrepreneurial skill (61%), understanding u.s economic issues ini global econmy (61%). Data tersebut menunjukkan pentingnya pengembangan kemampuan berpikir bagi anak sebagai bekal hidup. Anak harus dilatih untuk berpikir kritis dan kreatif terhadap setiap fakta yang ditemukan. Cermat dalam menemukan masalah dan kreatif dalam menggagas solusi penyelesaiannya.

Pada dasarnya, semua anak kreatif, orang tua dan guru hanya perlu menyediakan lingkungan yang benar untuk membebaskan seluruh potensi kretifnya. Di dalam pendidikan, orang tua dan guru diharapkan memberikan stimulus pada anak sehingga terjadi proses pembelajaran yang berpusat pada anak.

Stimulus dapat diberikan dengan cara memberikan kesempatan pada anak untuk menjadi kreatif. Biarkan anak dengan bebas melakukan ataupun membuat dengan caranya sendiri dan menguraikan pengalamannya sendiri. Bebaskan daya kreatif siswa dengan membiarkan anak menuangkan imajinasinya. Ketika ia mengembangkan keterampilan kreatif, anak tersebut juga dapat menghasilkan ide-ide yang inovatif dan jalan keluar dalam menyelesaikan masalah serta meningkatkan kemampuan dalam mengingat sesuatu. Suatu cara mampu menyalakan percikan-percikan kreativitas pada anak adalah dengan membebaskan anak menuangkan pikirannya.

Di dalam sistem pendidikan yang secara implisit diamanatkan dalam kurikulum merdeka, yang mulai diimplementasikan pada tahun pelajaran 2022-2023 dari jenjang SD, SMP, SMA/SMK di seluruh Indonesia bahwa sebuah kompetensi dapat dicapai dengan tiga indikator yakni pengetahuan, keterampilan dan sikap. Artinya bahwa anak belajar dengan subjek, supaya menjadi tahu, dapat melakukan dan menjadi perilaku yang tercermin dalam keseharian hidup. Belajar berarti melakukan proses berpikir. Belajar tidak cukup hanya sekadar tahu, menguasai ilmu dan menghapal semua teori yang dihasilkan oleh orang lain. Dengan demikian, pembelajaran hendaknya melatih anak mengembangkan kemampuan berpikir (thinking skills)

Salah satu tantangan besar yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan kurikulum merdeka saat ini adalah bagaimana membantu anak mengembangkan kemampuan berpikir (thinking skills), melangkah dari pengalaman konkret ke berpikir abstrak yang dapat menghasilkan loncatan intuitif melalui sebuah desain pembelajaran aktif. Piagetian-based education mengakui pentingnya menyiapkan lingkungan di mana anak dapat melangkah dari pengalaman konkret menuju ke menemukan konsep, dan mengaplikasikan konsep. Mengetahui sebuah objek atau peristiwa, tidak sesederhana melihatnya dan menggambarkannya. Mengetahui objek berarti berbuat terhadapnya, memodifikasinya, mentransformasi, dan memahami proses transformasinya, dan sebagai konsekuensi dari pemahaman terhadap objek adalah mengkonstruksinya.

Sebuah contoh yang dapat digambarkan misalnya ketika belajar IPA dengan topik ekosistem, hasil pengamatan anak menemukan fakta bahwa sampah menyebabkan menurunnya daya dukung ekosistem di permukiman warga. Pembelajaran tidak berhenti pada penemuan fakta sebagai data yang melengkapi laporan hasil pengamatan. Penemuan fakta justru menjadi titik awal dalam menggali kemampuan kritis anak. Anak harus diberi ruang untuk melakukan analisis dan telaah kritis terhadap problem yang ditimbulkan sampah. Selanjutnya, anak ditantang untuk merancang dan mewujudkan sebuah solusi yang dapat mengatasi masalah ekosistem yang disebabkan oleh sampah. Anak akan berkreasi dan kita akan menyaksikan munculnya berbagai macam produk-produk baru yang inovatif dari bahan baku sampah, teknologi baru mengolah sampah, atau cara-cara baru mengatasi masalah sampah. Pada tahap akhir anak harus diberi ruang untuk mengomunikasikan ide, melatih interaksi pemikiran, dan keterbukaan sebagai salah satu sikap ilmiah dalam sains. Dengan demikian, pembelajaran IPA akan menjadi bermakna bagi anak dan  bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat.

Otak merupakan pengenal luar biasa dan penyimpan pola. Otak lebih mengingat hal-hal yang dapat kita lakukan, bukan yang kita tidak dapat lakukan, dan penggunaan yang biasa, bukan yang tidak biasa. Dengan pola-pola biasa dengan cara biasa dilakukan, dibuat, dioperasikan atau dikenalinya sesuatu, otak membuat hidup kita jadi lebih mudah. Kita dapat menggunakan, membuat, dan mengenali banyak hal tanpa harus berpikir. Berpikir kreatif menuntut kita untuk melepaskan diri dari pola biasa atau dominan yang telah disimpan otak.

Untuk dapat membantu anak melepaskan diri dari pola-pola dominan, diperlukan sikap positif berupa pemikiaran bebas atau berfantasi dan pengambilan risiko. Sebenarnya sikap ini telah dimiliki anak ketika bermain di rumah, tetapi kebebasan ini mengalami penekanan oleh pembelajaran sekolah yang menekankan pada pemikiran dengan jawaban yang benar. Langrehr (2006) mengemukakan lima aspek sikap yang baik untuk berpikir kreatif dengan menggunakan akronim FIRST (Fantasy, Incubate, Risk Take, Sensitivity, Titilate). Seorang pemikir kreatif kerap memimpikan sesuatu yang tampaknya tidak mungkin terjadi atau solusi yang terkadang konyol terhadap suatu masalah. Ia biasanya membiarkan ide dan solusi untuk beberapa waktu dan tidak tergesa-gesa mengambil keputusan karena solusi kreatif kedua dan ketiga biasanya lebih kreatif dari yang pertama. Pemikir kreatif berani mengambil risiko demi mengharapkan sesuatu yang unik dan berguna, sensitif pada desain kreatif baik yang diciptakan manusia atau yang tercipta secara alamiah. Pemikir kreatif senantiasa bergairah dan menikmati kesenangan, di mana pada kondisi ini otak kaya akan gelombang theta dan zat endorphin (molekul bahagia) sehingga tercipta rasa rileks dalam pikiran. Oleh karena itu, sangat penting setiap sekolah menyediakan lingkungan belajar yang tepat seperti kebun sekolah, rumah bunga/taman dan juga sistem pembelajaran yang memungkinkan anak untuk berpikir kreatif. Selain itu para guru juga diharapkan memanfaatkan lingkungan belajar di sekolah semaksimal mungkin untuk kegiatan pembelajaran sehingga dapat membekali peserta didik mampu untuk berpikir kritis dan kreatif. Semoga.

*)Penulis adalah Guru SMP Pendowo Ngablak – Kabupaten Magelang

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar