Pelembagaan Seni Tari Istana

Dilihat 4394 kali
Bedaya Senapaten karya Daryono yang mengandung nilai kejuangan Pangeran Sambernyawa

Apabila publik mendengar terminologi seni tari, pada umumnya yang muncul dalam ranah berpikirnya hanya berpusar pada ranah estetika. Seperti sosok visual penarinya cantik, ganteng, keserempakan gerak, energic, dan sebagainya. Padahal bila ditelisik lebih jauh, seni tari mempunyai elemen dan korelasi erat dengan komunitas budaya penyangganya.


Eksistensi seni tari sejak zaman feodal sampai sekarang ditengarai masih solid dengan berbagai dinamikanya. Hal itu tidak bisa dilepaskan dengan kekuatan pelembagaan sebagai pendukung dan kekuatannya, sehingga eksistensinya bisa langgeng dan berkelanjutan.


Pelembagaan dapat dimaknai sebagai wadah atau kegiatan yang terdiri dari berbagai macam unsur yang saling terkait menjadi suatu sistem budaya yang kuat dan stabil. Seni tari sebagai proses simbolis tindakan manusia dalam lingkungan masyarakatnya, eksistensinya dapat dikatakan menjadi suatu sistem pelembagaan (Y. Sumandiyo Hadi, 2005).


Komunitas Istana


Pelembagaan tari yang menyangkut wadah atau organisasi masyarakat dari pandangan sosio-historis dapat diidentifikasikan beberapa pelembagaan, seperti halnya di lingkungan komunitas istana. Apabila memperhatikan pelembagaan tari dalam komunitas istana, publik cenderung melegitimasikan bahwa pelembagaan itu mempunyai nilai estetika tinggi atau dalam istilah Jawa sering menyebut dengan kesenian adiluhung.

 

Seni tari istana dengan pelindung seorang raja diasumsikan mampu mewujudkan nilai-nilai kultural halus, sesuai adat ketimuran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seni tari istana disebut tari klasik. Tari ini embrionya hidup dan berkembang di lingkungan istana. Pewarisan dilakukan turun-temurun di lingkungan istana sejak zaman feodal.


Pelembagaan tari klasik yang masih berkembang baik sampai sekarang ada di lingkungan istana Yogyakarta dan Surakarta. Dua istana itu sebenarnya berasal dari akar yang sama  yaitu dari dinasti Kerajaan Mataram. Namun karena akibat perjanjian Giyanti yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1755, kerajaan itu terpecah menjadi dua dengan sebutan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. 


Di komunitas istana Jawa seperti Yogyakarta dan Surakarta pelembagaan seni tari tersebut dapat dilihat dari pelembagaan produksi dan distribusi, seperti lembaga keabdidaleman. Dalam lembaga itu terdiri dari para abdi dalem (pegawai istana) dengan berbagai macam profesi, dari seniman pencipta, pekerja kreatif, pelaku, sampai dengan  pembantu pelaksana teknis.

 

Mereka terhimpun dalam satu wadah dengan tujuan mengabdi, menjunjung perintah raja, menciptakan, memelihara, dan mengembangkan kesenian. Kepemimpinan dipegang oleh para bangsawan yang mendapat mandat langsung dari raja. Dari situ nampak sekali korelasi vertikal yang sering disebut kawula gusti. Suatu relasi pemimpin dan rakyat yang terajut sangat erat dan tidak bisa terpisahkan. 


Dari seluruh periode pemerintahan aristokrasi itu, pada prinsipnya sama, yaitu kelembagaan bersifat struktural dan adanya norma kepatuhan. Seperti di Kasultanan Yogyakarta masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX, pelembagaan kesenian termasuk tari masuk dalam pelembagaaan keabdidaleman yang disebut Kawedanan Hageng Punakawan Kridhamardawa. Dalam operasionalnya lembaga ini, selalu dijalankan dengan norma kepatuhan dan tunduk pada perintah sang raja.

 

Norma kepatuhan tersebut juga dijalankan di lingkungan Keraton Surakarta. Pada waktu pemerintahan Sunan Paku Buwono X, terdapat pelembagaan yang disebut pasukan abdi dalem Bedaya. Pelembagan itu terdiri dari ratusan perempuan yang setia mengabdi dan melaksanakan tugas sebagai penari, hidup di lingkungan istana, sampai selesai status kegadisannya bila tiba saatnya mereka harus menikah.


Pelembagaan Ritual


Di samping pelembagaan secara fisik, di komunitas istana terdapat juga pelembagaan seni tari yang mempunyai kandungan nilai berupa pelembagaan ritual. Di istana Yogyakarta terdata seni pertunjukan wayang orang yang berfungsi sebagai drama tari ritual kenegaraan untuk memperingati abhiseka atau penobatan raja.

 

Dalam lingkungan istana Surakarta terdapat pelembagaan tari Bedaya Ketawang yang masih dianggap sakral yang hanya dipentaskan dalam upacara peringatan penobatan raja. Sedangkan di Kadipaten Mangkunegaran sebagai bagian dari Keraton Surakarta, terdapat tari Bedaya Senapaten. Daryono, dalam disertasinya Bedaya Senapaten (2019) menegaskan, bahwa tari ini mengandung nilai kejuangan Pangeran Sambernyawa dalam melawan penjajah Belanda dengan semangat nebuu-sauyun sebagai simbolisasi semangat juang dan kebersamaan.

 

Dengan demikian dapat ditarik suatu tautan benang merah bahwa seni tari dapat dimaknai secara komprehensif yang bukan hanya sekadar perspektif estetika. Di dalamnya  mempunyai kompleksitas aspek yang tidak kering untuk dinarasikan sebagai bahan penelitian untuk elaborasi pengetahuan kultural. 



(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar