Paradigma Baru Pembelajaran di Era Kurikulum Merdeka

Dilihat 15218 kali

Oleh : P. Budi Winarto, S.Pd*)


KURIKULUM merdeka sudah diimplementasikan di  sekolah-sekolah di seluruh tanah air dari tingkat Sekolah Dasar (SD)  sampai Sekolah menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan  (SMA/SMK). Dalam Kurikulum Merdeka paradigma pembelajaran di sekolah mengalami perubahan secara signifikan. Sebelum memaparkan paradigma baru pembelajaran di sekolah, terlebih dahulu penulis akan memaparkan paradigma lama pembelajaran di sekolah.

Paradigma Lama Pembelajaran

Menurut Jonasen (2006: 666) pembelajaran yang menggunakan pardigma lama dilaksanakan berdasarkan asumsi-asumsi berikut ini, yaitu: a) orang mentransfer pembelajaran secara mudah dengan mempelajari konsep abstrak dan konsep yang tidak berhubungan dengan konteksnya; b) pembelajar merupakan penerima pengetahuan; c) pembelajaran itu bersifat behavioristic dan melibatkan penguatan stimulus dan respon; d) pembelajar dalam keadaan kosong yang siap diisi dengan pengetahuan; e) keterampilan dan pengetahuan sangat baik diperoleh dengan terlepas dari konteksnya.

Pembelajaran dengan pardigma lama berasumsi bahwa dengan mempelajari konsep-konsep abstrak yang sudah dirumuskan oleh para ahli peserta didik yang memahaminya akan dapat menerapkannya dalam kehidupan baik dalam waktu yang dekat maupun yang akan datang. Pengertian-pengertian abstrak seperti rumus mengitung pendapatan nasional perkapita dan jenis-jenis badan usaha milik negara,  pada pelajaran IPS diterangkan pada para siswa dalam bentuk yang sudah jadi oleh guru, mengenai anak mengetahui atau tidak relevansi pelajaran yang mereka terima dengan kehidupan yang mereka jalani itu tidak menjadi bahan perhitungan guru baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembelajaran.

Dengan berpegang pada asumsi bahwa pembelajar/siswa itu merupakan penerima pengetahuan, maka guru-guru melaksanakan pembelajaran yang arahnya memberi pengetahuan sebanyak-banyaknya pada siswa. Satu-satunya sumber pengetahuan menurut asumsi ini adalah berasal dari guru dan bahan-bahan ajar pegangannya. Pendidik yang memegang asumsi ini seringnya menggunakan metode pembelajaran klasikal dan drill, bahkan seringkali hanya memberikan catatan di papan tulis atau rangkuman pelajaran yang difotokopi untuk para muridnya.

Dengan asumsi  bahwa pembelajar/siswa itu adalah sosok makhluk pasif yang hanya mau belajar apabila ada suatu stimulus, maka para pendidik berupaya memberi sejumlah stimulus agar peserta didiknya itu memberikan respon-respon dalam kegiatan pembelajarannya. Anak dikatakan belajar jika ia mampu memberikan respon yang tepat atau suatu stimulus yang diberikan guru. Atas respon-respon dari siswa tersebut gurupun memberi sejumlah penguatan-penguatan.

Asumsi keempat yang menyatakan bahwa siswa itu adalah sosok makhluk yang kosong dan siap menerima masukan, mengarahkan para pendidik untuk memberikan sejumlah pengetahuan tanpa mempertimbangkan apakah sudah ada ataupun tidak pengetahuan awal siswa berkeknaan dengan materi yang diajarkan dan tidak perlu memperhitungkan mengenai seberapa siap siswa tersebut menerima materinya. Guru yang memiliki asumsi ini jika mengajar selalu langsung pada pokok/inti materi tanpa berupaya menggali terlebih dahulu pengetahuan awal siswa atau tanpa melakukan upaya-upaya penyiapan sebelum sampai pada inti atau pokok pembelajaran.

Konteks bagi guru yang manganut paradigm lama merupakan hal yang tidak penting. Yang paling penting adalah para siswanya itu mampu menguasai  sejumlah pengetahuan dan keterampilan. Jika pengetahuan dan keterampilan yang dimaksud tersebut sudah dikuasai maka para siswanya sudah bisa dikatakan dapat menerapkannya dalam segala konteks. Pendidik dalam hal ini tidak memperhatikan sejumlah keunikan-keunikan dalam setiap konteks yang sedikit banyak berpengaruh terhadap relevansi dari pengetahuan dan keterampilan yang diterima siswa.

Paradigma Baru pembelajaran

Asumsi-asumsi baru yang melandasi pembelajaran dengan paradigm baru meliputi: a) orang sulit mentransfer pembelajaran karena memerlukan pembelajaran isi  maupun konteks; b) pembelajar merupakan konstruktor pengetahuan yang aktif; c) belajar bersifat kognitif dan dalam suatu keadaan pertumbuhan dan evolusi yang konstan; d) pembelajar membawa kebutuhan dan pengalaman mereka ke dalam situasi-situasi belajar; e) keterampilan dan pengetahuan sangat baik diperoleh dalam konteks yang realistic; f) penilaian harus memiliki bentuk yang lebih realistic dan holistic (Jonasen, 2006:666).

Paradigma baru belajar memiliki asumsi bahwa baik itu belajar mengenai muatan/isi maupun konteks sama-sama diperlukan agar terjadi transfer pembelajaran. Pembelajaran akan sangat dimungkinkan jika ditransfer dari situasi-situasi pembelajaran yang kompleks dan kaya. Oleh karenanya, aktivitas pembelajaran ini harus membantu para siswa untuk berpikir secara mendalam mengenai muatan dalam konteks yang relevan lagi realistik.  Peran guru pun berdasarkan asumsi ini tidak mendominasi proses belajar mengajar, sebaliknya siswalah yang harus lebih dominan dan aktif.

Keaktifan siswa dalam kegiatan belajar tidak lain untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Mereka aktif membangun pemahaman atas persoalan atau segala sesuatu yang mereka hadapi dalam kegiatan belajar mengajar. Jadi, bisa dikatakan bahwa siswa bukanlah sebatas penerima pengetahuan pasif dari gurunya melainkan sebagai individu yang aktif memproses segala informasi yang ditemukan dari lingkungannya untuk memperoleh pemahamannya sendiri.

Upaya memperoses segala informasi dari lingkungannya itu terarah pada pengembangan/evolusi dan penciptaan struktur kognitif. Kita hendaklah memfokuskan pada proses pemikiran dan penalaran selain dari muatan, serta berupaya untuk membuat kedua proses tersebut menjadi Nampak. Kedatipun demikian kita tidak boleh mengabaikan pengajaran materi, dengan hanya mengajarkan pemikiran dan penalaran karena pengetahuan konsep, teori, dan prinsip memberdayakan orang agar berpikir secara efektif.

Agar siswa mau berpikir dan memperoses segala informasi yang diperoleh dari lingkungannya maka para siswa/pembelajar itu harus membawa kebutuhan dan pengalaman mereka ke dalam situasi-situasi belajar. Jika mereka merasa butuh dan familier dengan apa yang sudah mereka alami maka situasi pembelajaran yang tercipta tersebut akan mendorong siswa untuk secara aktif menggali dan memproses informasi yang mereka temukan untuk mencapai suatu pemahaman. Para siswa tersebut aktif karena mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri.

Konteks yang realistic sangat membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilannya karena mereka memiliki kesempatan untuk berpraktik dan mempelajari hasil -hasil yang diharapkan. Praktik dan belajar dalam konteks yang realistik itu tidak menyulitkan sehingga materi-materi pelajaranpun lebih mudah terpahami oleh para siswa.

Para ahli pendidikan semakin lama semakin menyadari bahwa tes prestasi dan intelegensi konvensional tidak mengukur kemampuan orang untuk melakukan performa dalam latar keseharian dan untuk beradaptasi dengan situasi-situasi baru . Oleh karena itu, penilaian siswa bentuknya harus lebih realistik dan holistik yang menggunakan projek dan portofolio serta tidak menekankan penggunaan tes standar. Semoga.


*)Penulis adalah Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang.

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar