Narasi Sastra Relief Srimad Venuvana

Dilihat 1587 kali

Di Kabupaten Magelang banyak terdapat peninggalan cagar budaya yang sudah masuk world heritage, seperti beberapa bangunan candi yang sampai saat ini tetap masih tegak berdiri dengan kokohnya. Di dalam bangunan candi tersebut tersimpan karya sastra yang sangat menarik untuk bahan pembelajaran. Alangkah sayangnya kalau bahan pustaka riil tersebut tidak dapat diketahui maknanya.


Permasalahan tersebut mengemuka pada saat lokakarya seni baca relief yang diinisiasi oleh Lembaga Nittramaya Magelang di Museum Lima Gunung Mendut (25/9/2021) lalu. Topik  lokakarya tersebut mencoba menganalisis rangkaian cerita dalam bingkai sastra yang terdapat di Candi Mendut. Lokakarya dipandu Bambang Eka Prasetya Direktur Nittramaya yang dihadiri oleh peserta dari beberapa profesi. 

 

Bila ditesik lebih jauh, Candi Mendut merupakan candi Buddha yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Indra dari Dinasti Syailendra. Prasasti dari Desa Karang Tengah yang berangka tahun 824 Masehi menyebutkan bahwa Raja Indra membangun bangunan suci bernama Srimad Venuvana yang berarti bangunan suci di hutan bambu (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id).


Ajaran Kehidupan


Dalam panel-panel Srimad Venuvana banyak menggambarkan berbagai cerita yang mengandung ajaran kehidupan Buddha sebagaimana terdapat pada relief-relief cerita Pancatantra dan Jataka. Pancatantra adalah sebuah karya sastra dunia yang berasal dari Kashmir, India dan ditulis pada abad-abad pertama Masehi. Sedangkan Jataka mengisahkan kumpulan cerita kehidupan Sang Buddha sebelum beliau menitis kepada Siddharta Gautama.


Pancatantra ini mengisahkan seorang brahmana bernama Wisnusarma yang mengajari tiga pangeran putra Prabu Amarasakti mengenai kebijaksanaan kehidupan atau ilmu ketatanegaraan. Pelajarannya terdiri atas lima buku dengan sebutan Pancatantra yang secara harfiah berarti lima ajaran ketatanegaraan.


Ciri spesifik Pancatantra ini ceritanya dikisahkan dalam bentuk cerita bingkai dan banyak  mengandung fabel. Cerita bingkai ini juga disebut dengan istilah kathamukha (induk cerita) dan cerita-ceritanya semua dirangkai menjadi satu dengan yang lain menjadi suatu narasi yang terstruktur rapi (Bambang EP, 2021).


Relief tersebut dapat dilihat secara pradaksina (berjalan searah jarum jam). Dari puluhan cerita relief tersebut diantaranya adalah relief cerita Dharmabudi dan Dhustabudi juga Kisah Dewi Hariti yang berisi ajaran moral.


Dharmabudi dan Dustabudi


Relief ini terdapat di lorong sebelah kanan Srimad Venuvana. Dalam relief ini dikisahkan Dharmabudi dan Dustabudi adalah dua orang yang bersahabat. Mereka anak para saudagar. Suatu ketika Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita kepada temannya Dustabudi. Mereka sepakat menyimpan uang tersebut di bawah pohon.


Setiap kali mereka sedang memerlukan uang, Dharmabudi mengambil sebagian uangnya dan membagi secara adil kepada Dustabudi. Uang yang diambil oleh Dharmabudi digunakan sebagai modal bercocok tanam sayur dan buah-buahan. Lain halnya dengan  Dustabudi. Ia menggunakan uang tersebut untuk mengumbar nafsu duniawi, bahkan bersama dengan seorang perempuan.

  

Pada suatu hari dia mengambil semua uang sampai habis tanpa sisa sedikitpun. Ia lalu mengarang cerita Dharmabuddi pelakunya. Dustabudi menyeretnya ke pengadilan. Tetapi akhirnya Dharmabudi terbukti tidak bersalah, karena penatua pengadilan adat memeroleh keterangan dari seorang saksi mahkota, yakni perempuan yang sering diajak Dustabudi berfoya-foya. Putusan pengadilan menyatakan Dustabudi bersalah. Kemudian dia dihukum kerja sosial di desanya selama tiga purnama.Walau dikhianati oleh sahabatnya, Dharmabudi tetap berlaku baik terhadap Dustabudi.


Nilai keutamaaan yang dapat dipetik dari cerita tersebut adalah jangan berbuat curang, jangan melakukan fitnah, apalagi melakukan korupsi yang merusak sendi-sendi kehidupan. Hidup di dunia ini harus dilandasi dengan sikap welas asih terhadap sesama dalam menjalankan darma kehidupan.


Relief Dewi Hariti


Relief ini berada di sebelah kiri lorong masuk Srimad Venuvana. Dikisahkan Dewi Hariti adalah seorang raksasa perempuan dengan 500 anak. Demi menghidupi 500 anaknya, ia menangkap anak orang lain untuk dijadikan makanan bagi mereka. Perbuatannya berakhir ketika Buddha memberikan pembelajaran dengan menyembunyikan anaknya Priyangkara dalam sebuah mangkok.


Ia pun akhirnya bertobat dan menjadi pengikut Buddha. Bentuk pertobatannya dilakukan dengan menjadi pelindung anak-anak dan dewi kesuburan. Hariti juga menjadi simbol keharmonisan suami-istri dan keutuhan keluarga. Di dalam relief itu digambarkan Dewi Hariti memakai busana dan perhiasan bangsawan. Di pangkuannya duduk seorang anak kecil. Di sekelilingnya terdapat anak-anak yang bermain-main, memanjat pohoh, dan memetik buah.


Di era yang penuh gegap gempita disrupsi ini, kiranya upaya-upaya untuk mengomunikasikan narasi sastra yang penuh tuntunan moral tersebut perlu digencarkan mulai sekarang. Anak-anak milenial perlu diberikan pemahaman tentang narasi sastra yang terselubung di balik relief-relief tersebut dengan bahasa komunikatif yang kekinian. Kiranya kita juga sepakat, di pundak mereka nilai-nilai sastra tersebut akan tetap survive kelak di kemudian hari. 



(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Mertoyudan Kabupaten Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar