Mengoptimalkan Gerakan Literasi Sekolah

Dilihat 14378 kali
Siswa siswi sedang membaca buku di perpustakaan sekolah

Oleh Ch. Dwi Anugrah*

Sebagaimana diketahui Gerakan Literasi Sekolah (GLS) telah dicanangkan sejak penghujung tahun 2014. Berbagai kiat  telah dilakukan untuk  menggerakkan  aktivitas  berliterasi. Saat ini,  program GLS dalam rangka  menumbuhkan minat baca  dan kecakapan literasi telah dicanangkan di sebagian sekolah dalam berbagai kegiatan, antara lain 15 menit membaca sebelum pembelajaran, sebagaimana diamanatkan oleh Permendikbud Nomor 23 tahun 2015

Bila ditelisik lebih jauh, literasi memang tidak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana peserta didik  dalam mengenal, memahami, dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapatkannya di bangku sekolah.  Literasi juga berkelindan dengan kehidupan peserta didik,  baik di rumah maupun di lingkungan sekitarnya untuk menumbuhkan budi pekerti mulia. 

Dalam perkembangannya, literasi dapat dimaknai sebagai pemahaman terhadap teks dan konteksnya. Karena pada prinsipnya manusia sejak dilahirkan, mengarungi masa kehidupannya, hingga kematiannya selalu berurusan dengan teks. Pemahaman secara intensif terhadap berbagai ragam teks akan dapat membantu dalam menjalani kehidupan dengan berbagai dinamikanya, karena teks merupakan representasi dari kehidupan individu dan komunitas  dengan multikulturnya masing-masing. 

Sampai saat ini kegiatan literasi di sekolah  belum dapat diimplementasikan secara optimal. Hal ini disebabkan antara lain, masih minimnya pemahaman warga sekolah  terhadap penting dan manfaatnya  literasi  dalam kehidupan mereka. Fenomena tersebut selaras dengan penelitian Indonesia National Assessment Programme (INAP) tahun 2016  yang menunjukkan  bahwa nilai  kemampuan membaca peserta didik Indonesia masih kurang karena kisarannya hanya berada di posisi 46,83 % (Direktorat Pembinaan SMK, 2017). Data tersebut selaras dengan temuan UNESCO (2012) terkait kebiasaan  masyarakat Indonesia dalam membaca  hanya satu dibanding seribu. Implikasinya dari seribu orang hanya satu orang yang benar-benar membiasakan hidupnya dengan membaca. 

Kondisi demikian jelas memprihatinkan karena masih rendahnya kemampuan dan keterampilan membaca. Padahal membaca merupakan dasar bagi perolehan pengetahuan, keterampilan, dan pembentukan sikap yang harus dimiliki peserta didik. Oleh karena itu, dengan dibentuknya GLS diharapkan dapat sebagai alternatif untuk menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik  melalui pembiasaan budaya literasi sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. 


Implementasi Kegiatan

Untuk mengimplementasikan penumbuhan budaya literasi di sekolah diperlukan langkah-langkah strategis, diantaranya persiapan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan tindak lanjut. Persiapan merupakan kegiatan menyiapkan bahan, personal, dan strategi implementasi. Seperti rapat koordinasi, pembentukan TLS (Tim Literasi Sekolah), sosialisasi kepada semua warga sekolah, dan persipan infrastruktur yang mendukung. Adapun pelaksanaan  merupakan operasionalisasi yang telah dipersiapkan. 

Sedangkan pemantauan, evaluasi, dan tindak lanjut merupakan kegiatan untuk mengetahui efektivitas kegiatan literasi yang telah dilaksanakan. Pemantauan dapat dilaksanakan  setiap saat. Namun alangkah idealnya dapat dilaksanakan tiap tiga bulan sekali. Sementara itu, evaluasi dapat dilaksanakan tiap satu semester atau satu tahun pelajaran. Berdasarkan pemantauan dan evaluasi yang dilakukan secara terprogram, permasalahan implementasi GLS dapat diketahui kekurangan dan kelebihannya. Hal ini akan memudahkan untuk melakukan rencana tindak lanjut pada tahun pelajaran berikutnya.

Yang juga perlu dicermati dalam pelaksanaan GLS ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu tahap pembiasaan (melalui  kegiatan 15 menit membaca sebelum KBM dimulai), tahap pengembangan (menanggapi  buku pengayaan dan diperlukan tagihan non akademik), dan tahap pembelajaran (meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran dengan tagihan akademik).


Strategi Membangun Budaya Literasi

Dalam pengembangan budaya literasi, sekolah hendaknya mampu menjadi garis depan atau motor penggerak agar implementasinya bisa lebih optimal. Adapun beberapa strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah diantaranya, pertama,  mengondisikan lingkungan fisik ramah literasi. Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta didik di seluruh area sekolah, termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, hasil karya peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat mengakses buku dan bahan bacaan lain di semua area sekolah baik kelas, kantor, dan area lain. Ruang kepala sekolah atau guru dengan dipajangnya  karya peserta didik akan memberikan kesan positif tentang komitmen sekolah terhadap pengembangan budaya literasi.

Kedua, mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model komunikasi dan interaksi yang literat. Hal ini dapat dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh stakeholders sekolah. Hal itu dapat dielaborasikan  dengan rekognisi atas capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian reward dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk menghargai capaian prestasi peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya akademik, tetapi juga sikap dan capaian peserta didik. Dengan demikian, setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan dapat mewarnai semua perayaan penting di sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan dalam bentuk festival buku, lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya. Kepala sekolah selayaknya berperan aktif sebagai motor penggerak literasi, antara lain dengan membangun budaya kolaboratif semua warga sekolah. 

Ketiga, mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat. Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di sekolah. Sebaiknya sekolah  memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Untuk menunjang kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti program pelatihan literasi sekolah.

Untuk itu strategi literasi dalam pembelajaran sebenarnya dapat diaplikasikan di semua mata pelajaran. Dengan fleksibel guru dapat mengelaborasikan secara kreatif sehingga mampu mengembangkan kompetensi peserta didik dalam ranah berpikir kritis dan juga keterampilan berpikir  tingkat tinggi. 

Dengan demikian para guru hendaknya memahami konten materi pembelajaran yang diberikan dapat dielaborasikan dengan menyisipkan budaya literasi yang dapat memberikan penguatan dan pendalaman akan materi yang diajarkan. Tentunya guru juga harus memperluas wawasannya dengan mencari kajian referensi yang komprehensif dan lintas bidang sehingga materi yang diberikan semakin membumi. 

Adapun yang perlu juga diperhatikan untuk mengoptimalkan budaya literasi di sekolah adalah pelibatan publik. Dalam gerakan literasi sekolah pelibatan publik perlu menjadi bagian penting dari visi dan misi sekolah. Praktik di banyak negara maju membuktikan reformasi pendidikan yang hanya melibatkan lingkungan internal seperti peserta didik dan warga sekolah tidak akan berlanjut dalam jangka panjang. Pelibatan publik dapat dilakukan melalui program-program keayahbundaan (parenting), menyinergikan kegiatan belajar di sekolah dan di rumah, memperkuat komunikasi dan jejaring sekolah dengan pihak eksternal, menggalakkan program relawan, melibatkan elemen masyarakat dalam perencanaan kegiatan-kegiatan literasi sekolah, serta meningkatkan kolaborasi antar sekolah, alumni sekolah, dan komunitas pegiat literasi.

Bila partisipasi publik sudah dapat mendukung gerakan literasi di sekolah, maka hubungan mutual ini dapat terajut yang tujuan akhirnya  dapat mengoptimalkan gerakan literasi sekolah secara komprehensif. - (*) Pendamping Seni Budaya SMK  Wiyasa Magelang


Editor Fany Rachma

1 Komentar

Roch Aksiadi 17 Oktober 2018 09:25
Terima Kasih atas artikelnya Sangat membantu … Semoga Literasi di Indonesia semakin baik dan dapat menumbuhkan minat baca tinggi sehingga akan membawa pendidikan Indonesia yang semakin maju

Tambahkan Komentar