Memaknai Keris Sebagai Warisan Budaya

Dilihat 5682 kali

Sebagai bentuk benda budaya, keris dan sejarahnya merupakan salah satu bentuk senjata tradisional yang berkembang di Nusantara. Keris bersanding dengan beberapa senjata tradisional lainnya, seperti pedang, tombak, golok, belati, pisau, parang, dan sebagainya. 


Dari sekian banyak senjata tradisional yang ada di Nusantara, keris sering disebut-sebut yang paling kesohor dan dikenal luas, baik dari sisi filosofi, penamaan, bentuk, bahan tempaan, penyebaran, sampai kreasi seni rupanya. Keris bahkan oleh sebagaian komunitas diyakini memiliki kekuatan supranatural.

 

Sebagai senjata tikam, di Jawa pencitraan keris yang dikenal dengan istilah tosan aji atau wesi aji ini, sering diartikan sebagai benda yang bernilai atau dimuliakan. Dalam proses perjalanan waktu, keris menjadi tosan aji yang paling utama dalam dunia seni tempa senjata. Tidak hanya di Jawa saja, tapi juga di wilayah Indonesia lainnya.

 

Seturut perjalanan historisnya, keris mulai dikenal di Nusantara pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) dan Kerajaan Mataram (abad ke-17). Sedang pengaruhnya banyak mengikuti keyakinan animisme maupun dinamisme, serta peranan agama-agama di Nusantara, seperti Budha, Hindu, sampai Islam. Perjalanan historis yang cukup panjang beserta dinamikanya itu membuat keris berkembang pesat, baik dari sisi bentuk, kualitas tempaan, dan juga kreasi inovasi artistiknya.


Zaman pembuatannya


Dalam elaborasi berikutnya, muncul sebutan tangguh. Dalam dunia perkerisan, tangguh merupakan terminologi yang menunjuk gaya keris menurut zaman pembuatannya. Ada tangguh Pajajaran, Majapahit, Tuban, Demak, Pajang, Mataram, dan sebagainya. Keris atau dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja (penopang), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris).


Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika. Hal-hal umum yang menarik diperhatikan dalam morfologi keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris. 


Sejatinya keris merupakan sejenis senjata tikam yang berasal dari Indonesia. Hampir semua orang mengenal benda yang mempunyai catatan historis cukup legendaris tersebut. 


Pembangkit percaya diri


Meski berfungsi sebagai senjata tikam, keris bukan semata-mata dibuat untuk bela diri dalam olah kanuragan. Selebihnya keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolis spiritual, yakni sipat  kandel alias pembangkit rasa percaya diri. Dalam konteks yang lebih luas, keris merupakan salah satu atribut busana dan perlengkapan yang senantiasa menyertai dalam berbagai upacara di Jawa yang sekarang sudah merebak ke seluruh penjuru Nusantara (Majalah Gong, 2009).


Keris umumnya memiliki panjang sekitar 40 cm. Sebelum pembuatannya, terdapat beberapa hal (lelaku) yang harus dilakukan oleh empu (pembuat keris), yaitu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, puasa, serta slametan atau meminta restu dari para tetangga sebelum pembuatan keris.


Untuk membuat bilah keris diperlukan tiga bahan utama, yaitu besi yang terkenal akan kekuatan dan keuletannya, baja yang terkenal akan ketajamannya, serta pamor sebagai hiasan. Pembuatan bilah ini dimulai dengan wasuhan atau proses penempaan besi untuk mengeluarakan zat-zat kotornya.


Selanjutnya, bilah besi tersebut akan disisipi pamor yang berasal dari nikel atau batu meteorit. Kedua bahan ini lalu ditempa dan dilipat hingga berkali-kali, bahkan konon bisa hingga ribuan kali. Proses ini dilakukan untuk kembali menghilangkan zat-zat kotor dan memunculkan lapisan pamor.


Beberapa keris diyakini memiliki pamor bernuansa magis, diantaranya pamor udan mas (mendatangkan kekayaan), pamor putri kinurung (menghindarkan dari bahaya), pamor panguripan (mencukupi kebutuhan hidup), pamor andon lutut (menghangatkan hubungan suami-istri), serta pamor pedhot (menyebabkan pemakainya selalu gagal).


Eksistensi keris sebagai warisan budaya perlu menjadi perhatian semua pihak agar artefak budaya itu tetap menjadi kebanggaan dan jati diri bangsa. Salah satu alternatifnya, perlu dilakukan secara berkala pameran hasil mahakarya tersebut untuk umum, terutama anak-anak sekolah. Harapannya, generasi yang sedang bertumbuh tersebut lebih mengenal keris sebagai warisan budaya sejak dini, agar nantinya mempunyai jiwa untuk merawat dan memiliki.


Terlebih lagi saat ini United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sejak 2005 menetapkan keris sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity milik bangsa Indonesia. Jika bangsa ini tidak peduli, bisa jadi keris yang bernilai historis dan menjadi branding kebanggan Nasional tersebut akan dikoleksi orang luar negeri. 


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar