Konsistensi Berkesenian Komunitas Tutup Ngisor

Dilihat 1898 kali
Wayang orang keluarga besar Padepokan Tjipto Boedaja Tutup Ngisor
Di seluruh penjuru Nusantara ini, eksistensi komunitas-komunitas lokal dengan segenap tradisi serta keunikan yang dimiliki barangkali tidak terhitung jumlahnya. Mereka pada umumnya hidup dengan segala tradisi, tata nilai, orientasi, serta cara berpikir yang dimiliki untuk tetap dapat memperhankan eksistensinya.
 
Dalam khasanah ilmu sosial eksistensi komunitas lokal tersebut sering disebut kearifan lokal atau lebih sesuai dengan terminologi keunggulan setempat. Eksistensi mereka merupakan subkultur tersendiri dalam kultur-kultur yang telah ada. Sebagaian dari komunitas-komunitas tersebut ada yang sudah hilang akibat tergerus gelombang perubahan. Namun masih banyak yang masih survive dengan tradisi yang dimiliki atas semangat para penyangganya (I Wayan Dana, Ni Nyoman Sudewi, & Yohana Ari R.,2015).

Dari sekian komunitas-komunitas lokal yang masih bertahan dengan segala tradisi yang dimilikinya adalah komunitas kesenian tradisional Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Komunitas ini menjadikan kesenian sebagai denyut kehidupan mereka sehari-hari yang tetap masih bertahan dan konsisten sampai sekarang. 

Wadah kegiatan

Di tengah kesibukannya sebagai petani, sebagian besar masyarakat Tutub Ngisor tetap mempunyai semangat dan antusiasme tinggi dalam melakukan ekspresi seni melalui perkumpulan yang didirikan dan dihidupi bersama. Wadah kesenian tersebut diberi nama Padepokan Tjipta Boedaja (Cipto Budaya) yang didirikan oleh Romo Yoso Sudarmo, sesepuh Tutub Ngisor pada kisaran tahun 1937.

Bagi masyarakat Dusun Tutub Ngisor, seni menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas kehidupan sehari-hari. Bahkan di masa-masa yang sangat sulit sekalipun, ketika situasi perekonomian tidak memungkinkan, mereka tetap bersemangat untuk berkesenian. Dalam keyakinan mereka, kesenian sudah menjadikan roh dalam kehidupannya yang tak mungkin memudar walaupun sudah mengalami alih genarasi. 

Berbagai jenis seni pertunjukan etnik tradisional seperti Wayang Orang, Wayang Topeng, Wayang Kulit, Ketoprak, dan bermacam kesenian lapangan tumbuh berkembang dan berakar pada kampung agraris Dusun Tutup Ngisor. Kesenian lapangan seperti Kuda Lumping atau Reyog, Dayakan, Topeng Grasak, dan sejenisnya hidup berdampingan dengan kesenian panggung. 

Tujuan dan harapan 

Berbagai jenis kesenian yang lahir, hidup, dan berkembang di Dusun Tutup Ngisor memiliki fungsi yang diemban sesuai dengan kepentingan komunitas penyangganya. Kesenian bisa berperan sebagai pranata sosial, sistem nilai, norma, sistem kepercayaan, maupun elemen perekat solidaritas sosial.
 
Adapun komunitas Dusun Tutub Ngisor menggelar kesenian etnik tradisional dengan tujuan dan harapan sebagai parameter dalam menjalani hidupnya. Pertama, sebagai sedekah bumi untuk alam pertanian yang dipersembahkan kepada Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Aktivitas kesenian komunitas Tutup Ngisor dalam mendukung kegiatan ritual secara berkesinambungan ini, pentas dilakukan setidaknya empat kali dalam setahun, yaitu bulan Suro, Maulud Nabi, Idul Fitri, dan Kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Dari keempat pargelaran wajib itu, pelaksanaan gelar seni di tanggal 15 Suro dilaksanakan secara besar-besaran. 

Kedua, keberlanjutan ajaran Romo Yoso Sudarmo yang secara tersirat menegaskan bahwa hidup itu jangan pernah sekalipun meninggalkan seni. Ajaran itu mengukuhkan komunitas Tutup Ngisor senantiasa menempatkan kesenian sebagai suatu ritus yang agung. Mereka semakin meyakini bahwa hidup ini untuk seni, bukan kesenian untuk hidup. Ajaran ini menjelma dan secara praksis dilakukan secara turun temurun oleh generasi trah Romo Yoso dalam menggeluti kesenian. 

Ketiga, kemauan maupun hasrat yang kuat untuk tetap melestarikan seni dan tradisi budaya Jawa. Kesenian tradisional yang berkembang di Dusun Tutup Ngisor juga berfungsi untuk  menjaga cagar budaya seni budaya seni pertunjukan etnis kampung agraris. Dengan berpegang pada prinsip ini, mereka tidak serakah mengeksploitasi kesenian sebagai sumber kehidupan dan tempat mencari nafkah.

Keempat, hadirnya Padepokan Tjipta Boedaja menjadi wadah dan pusat berkesenian Dusun Tutup Ngisor. Tempat ini oleh keturunan Yoso Sudarmo yang saat ini dipimpin oleh Sitras Anjilin digunakan sebagai tempat olah seni dan budaya Jawa sebagai wujud persembahan kepada leluhur.

Komunitas Dusun Tutub Ngisor dengan berbagai dinamikanya, ternyata sampai saat ini tetap konsisten menggeluti kesenian sebagai nafas kehidupannya. Fenomena budaya tersebut sebagai bukti konkret, bahwa di tengah gempuran budaya global yang semakin menggurita dan mengeroti mentalitas bangsa ini, komunitas ini tetap tak bergeming untuk tetap meneguhkan konsistensinya dalam berkesenian. Optimisme tersebut tentunya bisa menjadi kaca benggala komunitas lainnya untuk mengambil nilai positifnya. 

(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar