Kisah Ruru Dalam Bingkai Sendratari

Dilihat 921 kali
Sendatari Ruru yang terinspirasi dari relief Jataka produksi Sanggar Seni Borobudur Art Centre Borobudur dapat menjadi pemantik generasi milenial untuk memahami Candi Borobudur sampai tingkat kedalamannya yang bukan hanya sekadar kemegahan arsitekturnya.

Lantunan bunyi gamelan Jawa membahana di seluruh penjuru panggung yang berbentuk open air (terbuka). Beberapa penari putri visualisasi dari hutan belantara menyebar ke seluruh penjuru membentuk gerak dengan berbagai konfigurasi yang sangat eksotis. Para penari berusaha mengeksploitasi diri dengan mengoptimalkan karakterisasi gerak selaras dengan casting yang dibawakan.


Beberapa penari dengan kostum binatang masuk ke panggung dengan penuh percaya diri. Tatapan mata menyapu seluruh ruang pentas menunjukkan keyakinan yang menjadi prinsipnya. Di tengah panggung mereka memvisualisasikan berbagai ragam gerak, baik itu gerak maknawi ataupun gerak murni yang lebih mengedepankan estetika. Gemulai gerak tangan, kibasan selendang, kelenturan torso (badan), maupun permainan komposisi dapat mereka eksploitasi dalam suatu konfigurasi yang terpadu.


Selang beberapa lama, muncul para penari putra yang menggambarkan gerak maknawi seperti terbawa derasnya arus sungai. Dengan enerjik dan ekspresif penari tokoh tersebut mampu menari berbaur dengan penari lainnya. Ada pula penari yang membawakan peran kijang emas, dengan gerak maknawi memvisualisasikan gerak menolong penari putra tersebut hingga terselamatkan. Gerak tari yang dilakukan dengan komposisi variatif, namun dalam bingkai tematik kebersamaan yang berirama, teratur, dan berimbang harmoni dengan karakterisasi yang mereka bawakan.    


Pagelaran Sendratari bertajuk Ruru dengan koreografer Lucia Adri Widayati, penata iringan Agus Hariyanto, penulis naskah cerita Handaka Vijjananda, hari Sabtu (3/6) menjelang Hari Raya Waisak di Sanggar Seni Borobudur Art Centre Borobudur tersebut mendapat apresiasi banyak penonon. Pasalnya Sendratari tersebut diiringi karawitan langsung yang pengrawitnya (pemusik) masih anak-anak usia sekolah. Sedangkan penarinya juga masih selevel usia anak-anak. Penari maupun pengrawitnya adalah peserta didik dampingan dari Borobudur Art Centre yang belajar secara rutin dan berkelanjutan.


Cerita Jataka


Pagelaran sendratari yang diusung oleh Sanggar Seni Borobudur Art Centre tersebut merupakan bagian dari kisah Jataka yang terpahat di relief Candi Borobudur. Kompilasi besar narasi cerita yang dikenal dengan kisah Jataka, dapat diklasifikasikan dalam karya sastra spektakuler yang sudah mendunia.


Karya sastra spektakuler ini termasuk sastra tematik yang dipakai sebagai acuan dan menginspirasi banyak kalangan untuk berkarya. Kisah Jataka pertama kali dituturkan oleh Buddha Gautama sendiri. Makna yang terkandung dalam karya sastra spektakuler tersebut berisi ajaran kamanusiaan yang sudah diturunkan lintas generasi sampai saat ini.  


Apabila ditelisik lebih mendalam, kisah dalam relief Jataka tersebut menarasikan kelahiran masa lampau Bodhisattwa dalam upaya menyempurnakan kebajikan demi mencapai pencerahan abadi yang sarat akan pesan-pesan moral sebagai tuntunan mapun pelajaran kehidupan semua umat di mayapada ini.


Cerita-cerita Jataka yang diturunkan sampai beberapa generasi menyajikan beberapa catatan dari kehidupan Bodhisattwa tersebut dan berbagai peran yang telah dilakoni, seperti sebagai orang bijak, raja, kepala pekerja, termasuk pekerja yang terampil. Ia juga pernah menjadi beragam jenis hewan yang rendah hati namun kehidupannya sangat bijak, seperti sebagai gajah, kera, rusa, kelinci, dan berbagai satwa lainnya.


Dalam kisah Ruru yang terdapat dalam lantai 1 Selatan Candi Borobudur panil 94-98 mengisahkah kijang emas Ruru yang memiliki welas asih tinggi, suka menolong mereka yang menderita. Bahkan ketika dikhianati oleh Dhanaka, pemuda yang pernah ditolongnya, ia tetap memberi pengampunan. Atas kebaikannya yang tanpa pamrih tersebut, Ruru diperkenankan memberikan wejangan dharma kebajikan kepada kelurga kerajaan. Pesan moral dalam cerita tersebut yaitu mereka yang bijak, mampu menahan diri dari penderitaan, tidak tega terhadap derita makhluk hidup lainnya, kelak akan mendapatkan kebahagian abadi.


Kisah-kisah Jataka tersebut mengisyaratkan pelajaran yang dipelajari Bodhisattwa selama perjalanan panjang sampai  kehidupan terakhir. Semuanya itu adalah sarana pembelajaran nilai teladan untuk menunjukkan kepada para murid-murid atau pengikutnya jalan untuk menuju keabadian sejati, seperti mencatat perjalanan Sang Bodhisattwa sendiri sebagaimana jentera kehidupan semua makhluk hidup yang berputar seperti halnya roda kehidupan.  


Cerita-cerita tersebut disukai sejak awal karena sifatnya memikat dan penuh empati yang mampu merajut ikatan emosional dengan pembacanya. Cerita memikat tersebut dapat mengantarkan peminat atau pembacanya untuk memahami perjuangan dan pencapaian mereka sendiri yang tercermin dalam kehidupan Bodhisattwa (sosok yang menuju pencerahan), yang telah melewati semua tahapan, ragam, dan keadaan kehidupan (Anandajoti Bhikkhu, 2020).


Kantong Budaya


Penyajian Sendratari bertajuk Ruru yang diiniasi oleh Sanggar Seni Borobudur Art Centre tersebut pantas untuk diapresiasi. Suatu karya berbentuk sendratari dengan tema dramatik (bercerita) tersebut dapat menjadi pemantik semua kantong-kantong budaya di Borobudur dan sekitarnya untuk berinisiatif membedah makna filosofis maupun kandungan cerita di balik kemegahan Candi Borobudur lewat karya nyata.


Referensi untuk menggali cerita tersebut sudah tersebar di berbagai media. Terlebih lagi di era digital seperti ini, berbagai sumber informasi mudah didapatkan. Bahkan penerbit Ehipassiko Foundation telah menerbitkan puluhan cerita bergambar relief Candi Borobudur yang dapat menjadi sumber informasi maupun inspirasi.


Di samping itu, karya-karya relief yang dapat diaktualisasikan lewat berbagai karya seni termasuk sendratari tersebut, dapat menjadi pemantik semua orang untuk mempelajari nilai-nilai hakiki dari Candi Borobudur yang tidak hanya sekadar kemegahan arsitektural saja, namun sampai gradasi nilai-nilai spiritual maupun kedalamannya.


Tidak bisa dipungkiri, bahwa saat ini masih banyak orang yang belum memahami Candi Borobudur sampai tingkat kedalamannya. Melalui media seni, baik seni pertunjukan, seni rupa, seni sastra, maupun media rekam, Candi Borobudur dapat dibedah secara komprensif. Terlebih lagi, untuk golongaan milenial. Mereka perlu dipahamkan tentang makna Candi Borobudur sedini mungkin.


Alangkah ironisnya, apabila anak-anak di sekitar Borobur tidak memahami nilai-nilai yang ada dalam bangunan peninggalan Dinasti Syailendra tersebut. Pemahaman Candi Borobudur melalui berbagai cabang seni dapat memediasi mereka untuk dapat mempelajari Candi Borobudur secara lebih detail dan komprehensif.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar