Keberagaman Potensi Peserta Didik

Dilihat 2119 kali
Foto: istimewa

Pada saat pertemuan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) ataupun pertemuan berbagai forum guru, muncul berbagai keluhan dari guru-guru yang mengajar di sekolah favorit. Mereka mengeluhkan kebijakan zonasi yang  harus menerima peserta didik dengan potensi kualitas beragam. Berbeda dengan sebelumnya, mereka dapat memilih peserta didik yang berkualitas.


Dari faktor psikologis memang terjadi ketidaknyamanan. Para guru merasa tidak nyaman karena kemapanan dan kenyamanan yang mereka rasakan selama ini terusik. 


Sekolah dengan kualitas baik memiliki ekspetasi tinggi terhadap peserta didik sehingga guru yang terbiasa  hanya mengelola peserta didik pandai dan bermotivasi tinggi akan mengalami frustasi ketika berjumpa dengan  dengan peserta didik dengan kualitas akademis yang jauh dari ekspetasi mereka. Jika ini berlangsung terus, pada masa depan sekolah yang sudah baik malah menjadi  turun kualitasnya.


Tanpa tebang pilih


Bila ditelisik lebih jauh lagi dari perspektif tujuan pendidikan, guru seharusnya mengajar dan mendidik peserta didik tanpa tebang pilih. Dalam satu sekolah kiranya perlu dilakukan sebaran karakter dan peta potensi  peserta didik yang beragam. Dengan sebaran yang merata di tiap-tiap kelas maka akan terjadi proses saling melengkapi antar pribadi peserta didik.


Sebaliknya bila di satu sekolah hanya berisi peserta didik pintar saja, guru banyak dimudahkan dan disenangkan dalam banyak mengajar. Untuk kelas pintar materi pelajaran lebih diterima mereka, karena sudah dapat fondasi kuat di sekolah sebelumnya atau di lembaga-lembaga bimbingan belajar. 


Sebaliknya mereka yang tidak tergolong pintar pada umumnya berasal dari keluarga menengah ke bawah. Mereka tidak banyak memiliki kelengkapan fasilitas. Apalagi ikut bimbel (bimbingan belajar) tambahan yang harus mengeluarkan biaya tidak sedikit.


Penelitian Carl Glickman dalam Supervision of Instruction (1995) menegaskan bahwa tidak ada pengaruh signifikan dengan menempatkan peserta didik ke dalam kelas berdasarkan kapabilitas akademisnya. Peserta didik yang mempunyai prestasi lebih tinggi tidak menunjukkan adanya progres lebih baik ketika bersama dengan mereka yang berprestasi sama tingginya. 


Di sisi lain, mereka yang prestasi belajarnya kurang justru semakin menurun ketika dikelompokkan dengan prestasi  peserta didik berprestasinya setara. Banyak terjadi kebosanan di antara mereka karena ada gambaran buruk, mereka tidak berada dalam kelompok yang diperhitungkan. 


Kelas menyatu dengan peserta didik yang beragam kemampuan akademiknya justru memunculkan kompetisi yang berdampak positif. Mereka yang kemampuannya kurang akan terpacu untuk belajar keras karena ada model teman sebaya. 


Mengasah hati


Di samping itu, bagi peserta didik pintar bila digabung dengan mereka yang kurang pintar menjadi kesempatan untuk mengasah hati dan kepeduliannya kepada sesama yang butuh bantuan. Mereka dapat saling berbagi dan berbela rasa untuk bisa saling mengisi kelebihan dan kekurangannya. Hal ini yang sering dilupakan sebagai tugas sekolah. Sikap empati atau bela rasa ini perlu menjadi perhatian utama. 


Empati atau bela rasa pada prinsipnya adalah pondasi dari semua interaksi hubungan antarmanusia. Mampu merasakan kondisi emosional orang lain membuat kita dapat membangun relationship yang akrab dengan orang lain. Empati dipahami sebagai perasaan, pikiran, dan motif seseorang yang dapat dimengerti secara menyeluruh oleh orang lain. Disertai ungkapan penerimaan terhadap keadaan orang lain. 


Empati, baik untuk guru maupun peserta didik semakin diperlukan dalam pendidikan sebagai upaya mencapai keberhasilan proses pembelajaran. Peserta didik yang memiliki sikap empati secara umum akan memiliki keinginan yang kuat untuk membantu orang lain sesuai kemampuannya. 


Sekolah sebagai wahana penempaan sikap sudah sepatutnya melakukan inovasi-inovasi pembelajaran dengan bertumpu pada penguatan pendidikan karakter (PPK) agar pesan empati dapat dimiliki oleh peserta didik. Peran guru dalam menumbuhkan sikap ini sangat penting. Bisa dilakukan oleh semua guru mata pelajaran. Dengan cara, mengingatkan peserta didik saat terjadi tindakan, perilaku atau kejadian insidental.


Selain itu, menjadi tanggung jawab bersama dalam menerapkan pentingnya sikap empati. Hal ini agar di lain waktu jika peserta didik menjumpai orang lain dalam kondisi yang membutuhkan perhatian, peserta didik yang telah memiliki sikap ini akan sigap membantu orang lain tanpa diingatkan oleh siapa pun.


Pada dasarnya sekolah tidak hanya mendidik yang sudah pandai, tetapi mendidik semua peserta didik dengan tingkat kemampuan seperti apa pun. Sekolah bukan hanya memintarkan, tetapi juga mengasah hati peserta didik.


Pada akhirnya semua guru diingatkan untuk dengan tulus mendidik peserta didik dengan ketulusan hati selaras dengan kompetensi profesional yang menjadi parameter dari kenerjanya. Orang tua sudah memercayakan kepada sekolah untuk dapat mendampingi putra putrinya, Tentunya jiwa-jiwa muda tersebut harus diasuh dengan hati serta  penuh ketulusan.



Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.

Guru Seni Budaya 

SMK Wiyasa Magelang


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar