Karya Sastra Menginspirasi Produksi Film

Dilihat 1279 kali
Berbagai sumber referensi dari banyak buku karya sastra dapat menjadi rangsang ide inspiratif bagi para sineas dalam menggarap sebuah film.

Dalam suatu kesempatan, anak-anak sanggar membaca beberapa karya sastra di ruang perpustakaan. Banyak di antara mereka tertarik pada karya sastra fiksi berlatar belakang historis, seperti Dyah Pitaloka, Sanggramawijaya, Nagasasra Sabuk Inten, Mangir, dan sebagainya.


Sembari mereka asyik menikmati bahan bacaan tersebut, salah satu di antara mereka melontarkan ide dan bertanya kepada penulis,


"Pak, di antara karya sastra ini alangkah menariknya bila dibuat film. Mengapa sampai saat dari sekian produksi film nasional, jarang yang memproduksi film dari karya sastra berlatar belakang historis yang baru kami baca tersebut?"


Pertanyaan dan ide cerdas mereka tersebut memang layak diapresiasi. Fenomena tersebut merupakan indikator bahwa banyak di antara mereka merindukan kembali munculnya karya produksi film dengan latar belakang historis. Sementara yang mereka temui, hanya banyak film ala kekinian yang banyak mengadopsi tokoh-tokoh asing. Mereka rindu pada cerita film yang berbasiskan kearifan lokal.


Mereka sekarang ini jarang yang mengenal tokoh-tokoh historis, seperti Samaratungga, Erlangga, Sanggramawijaya, Adipati Unus, Panembahan Senopati, dan tokoh-tokoh lainnya. Padahal banyak di antara tokoh-tokoh Nusantara tersebut sepak terjang dan perjuangannya dapat menjadi panutan dan tuntutan sehingga dapat memantik jiwa nasionalisme.


Pendidikan Budaya


Film merupakan karya sinematografi yang dapat berfungsi sebagai alat cultural education atau pendidikan budaya. Dengan demikian film juga efektif untuk menyampaikan nilai-nilai budaya. Secara umum fungsi film dibagi empat yaitu, alat hiburan, sumber informasi, alat pendidikan, pencerminan nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa. Selain menghibur film juga memberi informasi pendidikan dan menjadi cermin peradaban budaya bangsa. Di sinilah film mendapat tempat yang strategis sebagai media pendidikan dan pembelajaran di semua jenjang pendidikan baik formal maupun non formal.


Fungsi lain tentang film adalah sebagai media informasi. Seperti halnya dengan buku atau karya cetak lainnya, fotografi, rekaman suara, lukisan atau karya seni lainnya, film merupakan media penghantar informasi kepada masyarakat. Informasi yang tersaji dalam sebuah film memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat.


Membicarakan film pada prinsipnya juga berarti berbicara tentang kondisi sosial budaya dan peran penting film tersebut untuk merepresentasikan bangsa lewat berbagai semiotika yang dihadirkan dalam ekspresi estetika sinematografi. Bila dikaji lebih akurat film juga mengungkap fungsi dan sistem tanda budaya untuk bisa menampung dan mewakili beragam permasalahan sosial budaya komunitasnya (Purnawan Andra, 2021).


Banyak aspek yang dapat disajikan dalam sebuah film, misalnya: alur cerita, karakter tokoh atau pemain, gaya bahasa, kostum, ilustrasi musik, dan setting. Apapun jenis atau temanya, film selalu meninggalkan pesan moral kepada masyarakat yang dapat diserap dengan mudah karena film menyajikan pesan tersebut secara nyata.


Di samping sebagai media komunikasi, film juga merupakan dokumen sosial, karena melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tertentu pada masa tertentu. Melalui film publik tidak hanya dapat melihat gaya bahasa atau mode pakaian masyarakat, tapi juga dapat menyimak bagaimana pola pikir dan tatanan sosial masyarakat pada era tertentu.


Sesuatu yang sulit kita bayangkan jika membaca sebuah buku, dengan mudah dapat disajikan di film. Misalnya dalam hal berpakain di masing-masing era. Model pakaian pada zaman Hindu yang pada umumnya laki-laki telanjang dada dan perempuannya memakai pakaian model mekak/kemben sebagai penutup bagian atas tubuh. Sedangkan pada era Kerajaan Demak sampai sekarang mereka memakai pakaian model beskap, surjan, juga kebaya.


Dengan demikian untuk menerjemahkan dari buku ke media film dibutuhkan kejelian tersendiri dengan menggali beberapa sumber referensi. Untuk itu berbagai sumber referensi dari banyak buku karya sastra dapat menjadi rangsang ide inspiratif bagi para sineas dalam menggarap sebuah film.


Kearifan Lokal


Pada saat ini kiranya para sineas perlu melirik film-film bertemakan sejarah yang berbasis kearifan lokal. Kerinduan dari sebagian kecil generasi milenial dalam ilustrasi awal tulisan ini memang beralasan. Mereka membutuhkan ruang untuk mengapresiasi film bertemakan sejarah agar mendekatkan dengan dunia nyata dari nilai kejuangan para pendahulunya.


Di Kabupaten Magelang banyak terdapat berbagai situs peninggalan sejarah. Seperti Candi Borobudur. Kisah berdirinya candi tersebut menarik untuk dibuat film. Dari berbagai sumber referensi candi termegah tersebut dibangun karena semangat gotong royong dan sinergitas antara Dinasti Syailendra dan Sanjaya yang hidup berdampingan secara damai sehingga dapat meninggalkan karya Candi Borobudur sebagai sebuah Mahakarya.


Pada tahun 2019 Tari Soreng Kabupaten Magelang dapat pengakuan dari MURI masuk kategori pentas dengan penari terbanyak. Para sineas dapat menggali ide inspiratif dari tari Soreng tersebut untuk dibuat film. Bila melihat dari kajian historisnya, Soreng merupakan pasukan inti dari Kadipaten Jipang Panolan yang memiliki semangat juang luar biasa. Tentunya sangat menarik apabila dibuat film sebagai pemantik nilai kejuangan dan loyalitas bagi generasi milenial.


Harapannya ke depan para sineas lebih melirik memproduksi film sejarah berbasis kearifan lokal untuk dapat memberikan nilai edukasi secara komprehensif kepada publik terutama generasi milenialnya. Para generasi milenial tersebut membutuhkan oase dan pencerahan agar nilai karakter yang dimiliki tentang jiwa nasionalisme semakin membumi.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar