Karakter Seni Tari

Dilihat 5029 kali
Seni tari memiliki karakter yang kompleks

Ketika pertama kali koreografer terkenal, Sardono W. Kusomo belajar menari pada KRT Kusumokesowo di Kompleks Baluwarti Keraton Surakarta, ia mendambakan peran-peran gagah seperti Gatotkaca atau Hanoman, para jagoan dalam epos Mahabharata dan Ramayana. Tetapi waktu itu sang guru berpendapat lain. Sardono mendapat casting tokoh-tokoh tari halus, seperti Arjuna, Abimanyu, atau Rama.


Tentu saja sebagai remaja yang tumbuh jiwa petualangannya, peran itu merupakan sebuah kontradiksi. Ia hanya bisa iri dengan teman-temannya yang dengan semangat dan penuh totalitas melangkah dalam pola tari gagah. Sementara ia sendiri harus menelusuri gerak-gerak yang mengalir lembut, penuh dengan pengendalian emosi, seperti tari Priyambada, Narayana, Kusumawicitro, ataupun Panji.


Pada tahun 1961, KRT Kusumokesowo mendapatkan kepercayaan untuk menciptakan Ballet Ramayana di panggung terbuka Prambanan. Suatu proyek besar berskala nasional, dan ketika itu seluruh komunitas Surakarta dan Yogyakarta memusatkan perhatian pada peristiwa kultural tersebut. Gairah Sardono sudah sangat terbakar untuk menari di sebuah pentas raksasa itu. Ia sudah sangat yakin akan mendapatkan peran utama sebagai Sri Rama.


Tetapi kembali ia harus mendapati gurunya berpendapat lain. Pada malam yang larut, tidak seperti biasanya gurunya memanggil ke kamar tidurnya. Beliau bersila di tempat tidur, dan Sardono duduk di tikar bawah. Dalam keheningan malam yang sunyi itu Sardono mendengar gurunya berkata, "Seperti biasa kalau aku mencipta tari aku selalu laku prihatin (meditasi) dan menunggu dhawuh leluhur. Dan kali ini, dhawuhnya, hanya anak yang gagah dari utara itu yang bisa menarikan Hanuman. Sesudah lama aku merenung, aku yakin itu kamu".


Dalam kesepian malam itu, tak terasa air mata bening meleleh ke pipi Sardono. Kembali ia harus bergulat dengan persoalan batinnya. Gurunya ternyata banyak memberikan persoalan batin daripada sekadar mengajarkan teknik-teknik menari. Dengan sendirinya ia harus mencari sendiri secara otodidak teknik tari Hanuman. Sebab, gurunya bukan pengajar jenis tari ini. Selama ini KRT Kusumokesawa dikenal sebagai guru tari halus (Majalah Tempo, 16 Oktober 1993).


Belajar Berbagai Karakter


Ilustrasi tersebut menandakan bahwa belajar menari sesungguhnya merupakan belajar mempelajari berbagai macam intuisi gerak yang terbingkai dalam berbagai perwatakan atau karakter yang ada dalam berbagai sumber cerita baik itu epos Mahabharata, Ramayana, cerita Panji, cerita rakyat dan sebagainya. Dengan belajar tari sesungguhnya juga mencoba mencari dan mengenali berbagai potensi serta lapis-lapis kesadaran rasa dalam diri kita sendiri, dengan memakai kerangka watak peristiwa dalam wiracarita sebagai acuan. Maka tak mungkin rasanya belajar tari tanpa mengerti atau mempelajari  lakon-lakon sastra dan bagi pelajar tari Jawa khususnya, tak mungkin untuk tak mengenal  musik gamelan. Dan tentu saja tata busana, tatah sungging yang membungkus perwatakan-perwatakan tari itu. 


Secara umum gerak tari itu memiliki sentuhan emosional tertentu yang telah mengalami distorsi atau stilisasi. Gerak tari terutama pada drama tari  bisa dibedakan menjadi empat kategori, yaitu gerak maknawi (gesture), gerak murni (pure movement), gerak penguat ekspresi (baton signal) serta gerak khusus berpindah tempat (locomotion). Gerak  maknawi adalah gerak yang distilisasi dari gerak keseharian, yang secara jelas menggambarkan makna tertentu. Misalnya gerak maknawi ulap-ulap dalam tari Jawa yang merupakan stilisasi gerak tangan orang yang sedang melihat di kejauhan. 


Adapun yang disebut sebagai gerak murni adalah gerak yang hanya menitikberatkan pada keindahan semata, yang pada tari Jawa banyak kita jumpai. Gerak murni kadang-kadang juga dipergunakan untuk merangkaikan antara gerak maknawi yang satu dengan lainnya seperti, misalnya ukel yang berbentuk gerak tangan memutar; seblak yang berbentuk gerak tangan melempar sampur ke kanan atau ke kiri; cathok yang merupakan gerak melempar sampur ke atas lalu ditangkap dengan tangan yang sama, dan sebagainya.

 

Pencarian Hidup


Seorang penari pada dasarnya bukanlah orang yang sekadar menggerakkan badannya untuk bergerak dalam pola gerakan-gerakan tertentu. Menari sesungguhnya sedang meniti rasa, menjalani pencarian dan penemuan tentang jati dirinya. Bila terkandung di dalamnya merupakan pengalaman berharga yang bisa berbagi dengan penonton.

Bila ditelisik lebih jauh, menari merupakan kiat untuk meniti rasa, menjalani pencarian dan mungkin penemuan tentang lingkungan sekitarnya. Bila itu dilatih baik melalui pengamatan maupun intensitas perbendaharaan penari tersebut, maka ia akan bisa menjalin relasi dengan berbagai watak dan pola. Bukan hanya bentuk dan pola gerakan manusia, tapi juga nilai budaya yang mempengaruhi.


Dengan demikian dalam seni tari terkandung makna yang mendalam. Bukan hanya sekadar teknis gerak. Di balik teknis gerak tersebut terkandung filosofis kehidupan yang bisa dijabarkan dalam berbagai perspektif.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Mertoyudan, Kabupaten Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar