Jiwa Nasionalisme Adipati Karna

Dilihat 6622 kali
Simbolisasi prajurit sejati dalam tokoh Adipati Karna

Masih begitu segar dalam ingatan kita tema HUT Kemerdekaan ke-76 RI yaitu Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh. Di dalamnya tersirat makna yang sangat mendalam, bahwa kita sebagai bangsa Indonesia perlu berkolaborasi dalam menghadapi berbagai tantangan termasuk mengatasi pandemi.


Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh, hanya bisa dicapai jika kita semua bahu-membahu dan saling bergandeng tangan dalam satu tujuan. Kita harus tangguh dalam menghadapi ancaman kesehatan skala nasional pandemi Covid-19 dan berbagai ujian berat lainnya dengan semangat yang perlu ditumbuhkan demi menggapai cita-cita bangsa. 


Adapun untuk merealisasikan tujuan tersebut, tentu diperlukan modal dasar nasionalisme yang tumbuh di masing-masing pribadi. Pada prinsipnya nasionalisme merupakan satu paham atau ajaran yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara, untuk mencintai bangsa maupun negara sendiri.


Dalam konteks budaya, semangat nasionalisme diantaranya tercermin dalam beberapa tokoh wayang. Sebagaimana diketahui, dalam seni pertunjukan wayang di samping berfungsi sebagai tontonan juga berfungsi sebagai tuntunan hidup yang di dalamnya terkandung nilai humaniora, termasuk nilai nasionalisme.

 

Dalam dunia pewayangan, publik tentunya sudah mengenal tokoh Adipati Karna yang dapat disimbolisasikan sebagai tokoh prajurit sejati. Bahkan Sri Mangkunegara IV, penguasa Kadipaten Mangkunegaran Surakarta telah memasukkan tokoh Adipati Karna ini dalam Serat Tripama. Suatu karya sastra spektakuler, mengisahkan sosok teladan utama dalam keprajuritan dan perjuangan yang identik dengan semangat nasionalisme.  


Kisah Karna 


Suryaputra atau Karna dilahirkan ke Mayapada, akibat kesalahan Dewi Kunti. Putri Mandura itu bermain-main dengan mantra Druwasa. Ia ingin bertatap muka dengan Batara Surya yang cakap dan tampan. Dari perbuatannya yang kurang hati-hati itu, akhirnya beberapa bulan ia mengandung. Alangkah aib peristiwa itu. Beruntung, Resi Druwasa berkenan untuk menolong. Sang bayi dilahirkan lewat telinga. Itulah sebabnya, dia dinamakan Karna yang berarti telinga. Disebut pula dengan nama Suryaputra, karena putra Dewa Surya, sang penguasa matahari (Sri Mulyono, 1978).


Demi menjaga nama keluarga dan kehormatan negeri Mandura, Karna harus dibuang. Sebelum dibuang dengan air mata bercucuran layaknya seorang ibu, Dewi Kunti mendekap bayi itu erat-erat sembari menciuminya dengan penuh kasih sayang. Dengan hati-hati, anak itu dimasukkan ke dalam kotak. Sepintas ketika mengamati untuk terakhir kalinya, Kunti melihat anak itu ternyata beranting-anting dan dadanya mengenakan perisai yang bersembunyi dibalik kulit dagingnya sebagai tanda bahwa anak itu adalah keturunan dewata.


Bayi yang terapung itu akhirnya ditemukan oleh Adirata, kusir Kerajaan Hastina. Dari kecil sampai dewasa Karna diasuh dengan kasih sayang layaknya anaknya sendiri. Semasa hidupnya Karna mengabdi kepada Prabu Duryudana Raja Hastinapura. Karena kecakapannya dalam strategi perang, Karna mendapat kedudukan pantas menjadi Adipati di Kadipaten Awangga. 


Ujian Berat


Dua kali, keteguhan Adipati Karna mendapat ujian berat. Pertama kali ibunya Dewi Kunti membujuknya untuk bergabung ke Pandawa. Kedua Sri Kresna, ketika menjadi duta Pandawa yang terakhir ke Hastina. Semua itu ditolaknya. Ia mempunyai prinsip konsisten. Dengan dirinya bergabung ke pihak Kurawa tersebut, hanya karena menepati janjinya sebagai ksatria. Sedangkan dalam nuraninya ingin memberantas keangkaramurkaan Kurawa dengan caranya. Pecahnya perang Bharayuda berarti kekuasaan Kurawa sudah diambang kehancuran.


Adipati Karna  juga tak silau pada kedudukan. Waktu itu pernah dibujuk oleh Sri Kresna, bila mau bergabung pada Pandawa nantinya akan diangkat menjadi raja Hastina. Namun semuanya ditolaknya, karena ia merasa tak pantas menjadi raja besar. Hanya adiknya Ajathasatru yang pantas memangku jabatan tersebut. Ia menyadari bahwa tugas yang lebih penting dan suci adalah memimpin dan mempercepat musnahnya angkara murka. Walaupun untuk itu harus bertempur dengan saudaranya sendiri sampai ajal menjemputnya.


Dari kisah Adipati Karna tersebut dapat ditarik suatu benang merah, bahwa nasionalisme merupakan harga mati yang harus terpatri kuat pada bangsa Indonesia. Sebagaimana tokoh Adipati Karna ini pantas menjadi teladan. Sosok yang konsisten pada prinsip. Ia rela mengorbankan jiwa raganya ketika Kerajaan Hastina mendapat ancaman dari kerajaaan-kerajaan sekutu Pandawa dalam perang Bharatayudha. Untuk kepentingan negara, jiwa menjadi taruhannya 


Sikap nasionalisme sebagai wujud cinta tanah air dalam situasi sekarang ini, bisa direalisasikan dengan saling mengingatkan satu sama lain agar mata rantai pandemi tidak meluas. Salah satu kiatnya adalah dalam aktivitas keseharian, masyarakat dengan penuh kesadaran, tanpa paksaan perlu menjalankan protokol kesehatan, sehigga menjadi pembiasaan positif.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar