Jejak Kreativitas Empu Seni Tari

Dilihat 2214 kali
Tari klasik Jayapurusa Sariwahana gubahan KRT Wiratmodipura dari Kasunanan Surakarta merupakan hasil karya kreativitas yang sampai saat ini dapat terus digali sebagai sumber penelitian.

Eksistensi, kontinuitas, dan perkembangan seni tari baik di Yogyakarta maupun Surakarta telah melalui jejak waktu panjang harmoni dengan perubahan pelaku tari dan nilai yang hadir pada zamannya. Proses itu tentunya tidak hanya instan, namun membutuhkan pengkajian, pengendapan, dan pemikiran baik pada masa itu maupun asas manfaatnya bagi generasi masa depan.


Pada dasarnya kehadiran seni tari pada masa tari tersebut tercipta ternyata dapat dirasakan membawa makna yang sangat mendalam bagi kehidupan komunitas luas. Gerak akselerasinya mempunyai implikasi intensif dalam memberi aspirasi manusia terhadap lingkungannya yang sarat akan pernik-pernik kompleksitas permasalahan yang melingkupinya.


Pada waktu itu para empu tari Jawa yang mewariskan wasiat tari kepada generasi penerusnya secara sadar selalu berpijak pada pola normatif dan konsepsi seni yang ada korelasinya dengan sosiokultural pada zamannya. Konsep-konsep tersebut dapat diciptakan secara akuratif yang menguras pemikiran, waktu, dan tenaga itu ternyata tidak hanya sekadar berkisar masalah estetika semata, namun lebih mencakup berbagai aspek pola subsistensi manusia. Hal ini mengandung implikasi para empu tari Jawa memandang persoalan-persoalan estetis mencakup wilayah kehidupan manusia yang luas dan kompleks, serta memandang tari sebagai salah satu refleksi budaya.


Sebagai salah satu pengetahuan tradisional dalam seni tari, karya yang dilakukan oleh para empu tari itu patut dihargai dan dihormati dengan cara generasi sekarang lebih memberi makna dan memahaminya serta menjadikan karya para empu tari sebagai stimulus yang menantang. Paling tidak dapat sebagai pemicu merevitalisasikan potensi kreatif tersebut dengan berbagai aktivitas yang mengarah pada kreativitas.


Pemahaman terhadap nilai-nilai tradisi dan hakikat kreativitas inilah yang merupakan bekal utama seorang seniman dalam mengolah bentuk, corak, langgam atau semangat tradisi selaras dengan tingkat elaborasi kehidupan manusia tersebut. Tanpa pemahaman intens terhadap nilai-nilai tradisi hanya membuahkan karya bagus tapi kering dan tidak memiliki aura.


Daya Hidup


Lain halnya dengan para empu tari Jawa dalam mencipta tari memang membutuhkan beberapa tahapan proses yang tidak dipandang mudah. Kreativitas para empu itu baik dalam kepenarian maupun penciptaan telah dilandasi dengan apa yang dikenal dengan, pertama, net, yakni esensi ataupun ruh daya cipta yang mampu membuat karya tari dan sosok kepenariannya menjadi hidup. Kedua, krenteg, yaitu dorongan dari lubuk hati yang paling dalam untuk melakukan proses kreatif. Ketiga, karep, yang mengandung makna tujuan atau kehendak agar kepenarian dan karya tarinya mempunyai makna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia (Wahyu Santoso P., 2006).


Proses terus menerus dari net, krenteg, dan karep membutuhkan daya hidup dengan energi dari dalam jiwa. Dalam proses yang dibarengi laku spiritual (asketik) seperti puasa, meditasi, tapa brata, pati geni dan berbagai cara prihatin lainnya. Dengan mengaplikasikan pola pikir dan pola tindak dalam berbagai laku tersebut memungkinkan kepenarian dalam karya tarinya dapat menembus batas-batas kesukuan, membuka  kesadaran kontemplatif yang sekaligus merajut ruang transendental.


Di Yogyakarta dikenal beberapa tokoh tari yang sudah diklasifikasikan sebagai empu, sebut saja Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejokusumo sebagai pendiri KBW (Kridha Beksa Wirama) yang merupakan organisasi tari pertama yang berdiri di luar tembok keraton, GBPH Suryobrongto, KRT Sasmintadipura, RM Dinusatomo, serta beberapa tokoh lainnya yang dengan penuh totalitas telah memberikan kontribusi baik pikiran, tenaga, dan loyalitasnya demi tetap solidnya eksistensi seni tari dalam kancah berbagai kehidupan  yang semakin mengglobal.


Adapun bila dilihat dari perspektif filosofis yang terdapat dalam Joged Mataram ternyata banyak hal yang menjadi pijakan penciptaan para empu tari tersebut. Diantaranya bisa dicermati dalam konsepsi Joged Mataram yang salah satunya dikenal dengan sebutan sawiji. Konsep sawiji ini adalah tindakan untuk melakukan konsentrasi total tanpa menimbulkan ketegangan jiwa, implikasinya seluruh sanubari penari dipusatkan pada satu peran yang dibawakan untuk  menari sebaik mungkin dalam batas kemampuannya dengan mengaplikasikan segala potensi yang dimiliki.


Pada dasarnya filsafat Joged Mataram tersebut diaplikasikan dalam seni tari Jawa dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan lahir dan batin. Selain itu dalam Joged Mataram juga menjadi dasar universal agar penari mencapai tingkat perfeksionis dalam membawakan karater tari yang dibawakan namun masih dalam tingkat kesadaran.


Di Surakarta dikenal juga beberapa empu tari yang sampai akhir hayatnya tetap mempunyai komitmen untuk menjaga eksistensi, keberlanjutan, dan elaborasi tari. Tokoh-tokoh tersebut antara lain GPH Prabuwinoto, KRT Kusumokesowo, Ngaliman Condropangrawit, KRT Tandhakusuma, RM Rono Suripto, Nyi Bei Mintararas, Ibu Tarwo Sumosutargya, dan banyak tokoh lainnya.


Tulisan Sastra Kartika dalam Serat Kridhwayangga (1925) banyak sekali memuat informasi terkait dengan ikon tari Jawa gaya Surakarta. Manifestasi dari konsepsi yang terdapat dalam Serat Kridhwayangga itu merupakan dasar-dasar gerak yang melekat dan menyatu dalam satu kesatuan yang disebut patrap beksa (sikap laku tari).


Secara eksplisit para empu tari Jawa itu telah mampu mengklasifikasikan tari Jawa gaya Surakarta dalam beberapa patrap beksa, antara lain sata ngetap swiwi (ayam mengepakkan sayap) digunakan untuk peran tari halus luruh (muda), kukila tumiling (burung menggerakkan kepala) digunakan untuk peran tari halus lanyap (lincah), pucang kanginan (nyiur tertiup angin) lebih cenderung untuk tari putri.


Berpijak dari pemaparan patrap beksa tersebut, sudah bisa diprediksikan bahwa para empu tari Jawa dalam mengawali penciptaaannya cenderung melakukan observasi intensif dalam tahapan proses yang cukup lama, terutama untuk menyikapi berbagai fenomena alam dan lingkungan yang menjadi ide elementer dari proses penciptaannya.


Kaderisasi


Tak bisa dipungkiri, sekarang ini memang telah banyak muncul koreografer seiring dengan eksisnya lembaga pendidikan formal seni tari (ISI, STSI, SMKI) dan beberapa lembaga non formal seperti sanggar-sanggar tari. Namun karya-karya mereka itu pada umumnya masih terbatas unjuk kebolehan, belum sampai tataran taksu atau kesempurnaan filosofis sebagaimana karya para empu tari.  


Kiranya faktor yang perlu segera dipikirkan yakni munculnya kaderisasi baru sebagai penerus atau inovator dari jejak-jejak para empu tari tersebut. Namun juga perlu disadari menjadi sebutan empu tari itu memang menuntut akuntabilitas moral yang cukup besar. Karena disadari empu tari itu dipahami sebagai seseorang yang menggeluti dan menekuni tari dalam durasi waktu cukup lama hingga intensitas dan keahliannya dapat bertahan dan berlanjut hingga publik bisa menerima.


Akan tetapi tidak ada salahnya mulai sekarang krisis empu tari itu perlu disikapi. Di samping penciptaan kaderisasi, komunitas seniman khususnya seni tari dapat lebih konsentrasi pada proses penciptaan kompetitif dalam kadar kualitas dengan menyampingkan unsur-unsur konsumtif seperti karya-karya populer yang instan dan cepat hilang dimakan waktu.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar