Harmonisasi Toxic Relationship

Dilihat 1730 kali
Puji Wijayanti guru Bahasa Indonesia SMK Negeri 1 Magelang sedang mendampingi peserta didik kelas X MD untuk memahami toxic relationship dikorelasikan dengan materi belajar menjadi negosiator ulung.

Oleh: Puji Wijayanti, S.Pd., Guru Bahasa Indonesia SMK Negeri 1 Magelang



Mata memandang ke laut lepas. Indah panorama gulungan ombak berduyun-duyun. Seiring melodi desir pantai berbisik lirih mengalun harmonis. Harmonisasi selaras serasi dan seimbang, antara cinta, kasih, dan kepercayaan insan. Tak ubahnya gelombang lautan yang bergulung berduyun mengalami pasang surut. Begitu pula dengan setiap hubungan mengalami pasang surut, namun toxic relationship secara konsisten menguras tenaga bagi orang yang menjalaninya, sehingga berdampak buruk bagi kesehatan seseorang, baik fisik maupun mental.


Manusia sebagai makhluk sosial dalam menjalani aktivitas kehidupan tidak terlepas dari interaksi antar sesama. Hubungan antara manusia dengan manusia disebut dengan pergaulan, persahabatan atau relasi. Interaksi ini ada yang mengakibatkan terjalinnya relasi yang sehat ataupun sebaliknya. Seiring dengan perkembangannya dikenal istilah toxic. Sering mendengar bukan toxic relationship?


Toxic relationship dapat diartikan sebagai sebuah hubungan antar insan yang mengandung racun yaitu hubungan yang akan berdampak buruk pada penciptaan rasa kebahagiaan dan kesehatan mental seseorang. Sayangnya, banyak orang tidak menyadari atau belum merasa bahwa mereka sedang terjebak dalam kondisi seolah-olah zona aman dan nyaman seperti ini.


Menurut Dr. Lilian Glass, seorang ahli komunikasi dan psikologi dalam bukunya berjudul Toxic People (1995) mendefinisikan toxic relationship adalah hubungan yang tidak saling mendukung satu sama lain. Salah satu pihak dalam hubungan tersebut berusaha memiliki kontrol besar terhadap pihak yang lain.


Hal ini kadang tidak disadari karena pikiran positif seseorang. Tidak pernah berprasangka buruk terhadap relasi atau orang lain, sehingga tidak terasa jika dirinya dikuasai oleh orang lain dan masuk dalam toxic relationship. Hubungan toxic tidak terbatas hanya dalam hubungan romantik, melainkan juga bisa terjadi pada hubungan kekeluargaan, persahabatan maupun profesional.


Dampak Toxic


Hubungan romantik segalanya terasa serba indah. Banyak orang hanyut, tenggelam dan lupa diri di dalamnya. Namun perlu diwaspadai pula jika terjebak dalam hubungan toxic romantik. Pasangan kekasih yang sedang dimabuk cinta seolah-olah segalanya hanya milik berdua dan pasangannyalah satu-satunya yang diperjuangkan. Apapun yang dikatakan oleh pasangan akan dituruti, saling percaya dan saling mengasihi. Seiring proses dan berjalannya waktu hal ini akan menjadikan hubungan toxic yang tak disadari dan berdampak fatal.


Begitu pula dalam hubungan kekeluargaan. Sikap-sikap setiap anggota keluarga yang tak disadari bisa jadi salah satunya memiliki sikap toxic terhadap anggota keluarga lainnya. Misalnya, orang tua yang selalu mengatur anaknya karena merasa paling benar dan banyak pengalaman. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan dan mendidik putra putri tercinta. Akan tetapi jika hal ini terus berlanjut tanpa ada umpan balik dari si anak maka seolah orang tua sebagai penguasa yang harus diturut segala perintah dan aturannya. Ibarat dalam adagium Jawa dikenal sabda pandhita ratu tan kena wola-wali (ucapan seoarang raja atau pendeta harus konsisten dan harus diikuti). Untuk itu, perlu introspeksi oleh masing-masing individu anggota keluarga sehingga tetap terjalin hubungan yang harmonis.


Semetara itu, dalam hubungan persahabatan dan profesional juga bisa mengalami toxic relationship. Rekan, sahabat yang jahil dan usil baik secara tersurat maupun tersirat kerap kali dijumpai. Sekalipun ada salah satu pihak yang selalu diam dan mengalah, namun ada saja ulah dan tingkahnya. Disadari ataupun tidak dari masing-masing pihak hal ini terjadi baik di lingkungan profesional mapun persahabatan. Untuk itu perlu adanya kesadaran diri masing-masing untuk mengevaluasi diri dan mengevakuasi diri dari toxic.


Evaluasi dan Evakuasi Diri


Evaluasi dan Evakuasi Diri (EED) dari toxic relationship perlu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya bagi peserta didik. Toxic relationship muncul dengan sendirinya tanpa disadari. Dalam pembelajaran dapat diterapkan ketika belajar bersama tentang materi Kelas X SMK Bab 4 dengan pokok bahasan menjadi negosiator ulung. Kegiatan bernegosiasi dengan tulus dan ikhlas, tidak ada salah satu pihak yang dirugikan merupakan kata kunci untuk dapat belajar untuk mengevaluasi dan mengevakuasi diri dari toxic. Selain dalam pembelajaran, juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.


Adapun ciri-ciri yang mendasar dari toxic relationship, antara lain: seseorang hanya mau ada dalam kesenangan, cenderung menghilang dalam kesusahan, tidak memiliki sifat simpati dan empati alias acuh tak acuh, suka mengontrol dan memanipulasi orang lain tidak disampaikan apa adanya, tak mau meminta maaf dan mengakui kesalahan kadang mengkambinghitamkan orang lain, kerap merendahkan dan meremehkan orang lain, tidak konsisten dan bisa jadi mengonsumsi atau penyalahgunaan zat. Beberapa ciri tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi diri apakah seseorang itu termasuk toxic atau tidak.


Selain itu, kita juga dapat mengidentifikasi hubungan yang kita jalin termasuk toxic relationship atau bukan. Tanda masuk ke toxic relationship antara lain: selalu merasa gagal terhadap diri sendiri, sulit berkomunikasi dengan baik, selalu dikendalikan oleh pasangan, sulit untuk berkembang. Jika tanda-tanda tersebut kita jumpai dalam sebuah hubungan yang dijalani maka bersegeralah untuk mengevakuasi diri.


Evakuasi diri dapat dilakukan dengan beberapa cara di antaranya, berpikir positif, memikirkan hal penting, berhati-hati dalam menjalin relasi, berani menolak permintaan pasangan, seseorang, sahabat, teman atau rekan yang seharusnya tidak dilakukan, fokus pada tujuan dan target yang akan diraih. Selain itu berani mengambil sikap tegas terhadap sesuatu yang diyakini dari hati.


Hal-hal tersebut diharapkan akan menciptakan hubungan sehat dan harmonis, tidak saling memanfaatkan ataupun menyakiti, memiliki fisik maupun mental sehat, menjalani kehidupan sesuai hati nurani, semangat, serta bahagia sukacita. Oleh karena itu, semua pihak dalam meniti dinamika kehidupan, baik di sekolah, keluarga, atau masyarakat perlu menyadari pentingnya memahami toxic relationship tersebut, agar nantinya tidak terjerumus ke dalamnya, sehingga relasi keharmonisan dapat terbangun.



Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar