Pembatasan sosial dan fisik karena pandemi Covid-19 berdampak besar terhadap berbagai aspek kehidupan termasuk aktivitas seni budaya. Berbagai workshop seni, pameran, pembacaan sastra, puisi, atau pementasan seni pertunjukan yang sudah terencana sebelum pandemi terpaksa dibatalkan.
Penulis pun merasakan dampak yang sangat besar. Sebagai penari hotel berbintang di Kawasan Borobudur sejak diberlakukannya pembatasan sosial, kunjungan wisatawan ke hotel menurun drastis, sehingga pertunjukan di hotel ditiadakan. Kegiatan ekstrakurikuler seni di sekolah yang pada umumnya mengambil pendamping dari luar juga ditiadakan karena peserta didik melakukan kegiatan pembelajaran dari rumah.
Kebijakan pembatasan sosial maupun fisik tersebut sangat berdampak bagi para seniman dan pekerja seni. Peristiwa itu tidak saja mengurangi secara drastis forum-forum kesenian bermutu yang selama ini dinanti, tetapi juga membuat gejolak lain tentang polemik nasib hidup seniman.
Di laman media sosial, hampir semua seniman menjerit sebab banyak mengalami pembatalan pentas atau pameran yang didapatkan. Yang paling terdampak tentu saja seniman tradisi. Untuk menjaga agar dapur tetap mengepul, mereka harus menjual apapun yang bisa dijual.
Apa yang harus dikerjakan dari rumah oleh pemain ludruk, wayang, ketoprak, pemain campur sari, pengrawit, dalang, serta penari gandrung?
Mereka adalah penjual jasa, bukan pegawai kantoran yang dapat mengalihkan pekerjaannya dari kantor ke rumah. Jasa seni apa yang mereka jual jika hanya berdiam diri di rumah? Siapa yang akan menanggung kebutuhan hidup saat mereka tidak memiliki ruang untuk bekerja?
Hal itu merupakan gambaran muram seniman saat pemberlakuan pembatasan sosial. Tentu saja seniman tidak sendirian yang mengalami nasib serupa. Banyak profesi lain, juga industri, dan korporasi, ikut merasakan dampak pandemi Covid-19 yang tidak mengenal tebang pilih ini.
Ruang virtual
Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 menuntut seniman untuk melakukan migrasi dari ruang fisik bergeser ke ruang virtual atau daring. Dunia daring identik dengan âruang pentas mayaâ yang terdominasi secara fisik seperti gedung seni pertunjukan, studio mini, lapangan, hingga ruang-ruang terbuka alternatif. Mengubah medium ruang pentas atau pameran tersebut menjadi daring jelas membuat seniman harus dan rela melakukan koding kembali akan daya artistik ciptaannya agar sesuai dengan atmosfir daring.
Unsur estetika pun akhirnya terkoreksi tajam. Resultansi kualitas karya rentan berubah derajatnya. Jarak penonton dan karya atau pementasan perlu perhitungan yang cermat karena jelas terpisahkan oleh sekat layar digital layaknya pada gawai, laptop, dan televisi.
Tantangan yang muncul kemudian ialah ketercukupan aksesinternet agar tampilan tidak malah tersendat atau tetap dapat diakses hingga akhir pertunjukan demi tersampaikannya pesan. Migrasi besar-besaran dari dimensi fisik menuju daring dalam konteks live show pada berbagai lini seni terasa berat.
Untuk itu, pemerintah perlu memberikan subsidi juga pelatihan bagi seniman akan ketercukupan perangkat teknologi dan SDM pemakainya bisa dioptimalkan. Terlebih lagi melalui akun Youtube Budaya Saya, Kemendikbud telah menampilkan pertunjukan seni dari beragam kelompok, dengan sistem seleksi dan kurasi. Konsep pertunjukan seni secara digital ini bisa diarahkan untuk memberi pemasukan bagi seniman yang tampil.
Permasalahannya sampai saat ini, banyak seniman yang belum siap memonetisasi atau menghasilkan aspek finansial dari ruang virtual. Bidang seni belum optimal menguasai ruang virtual jauh dikomparasikan dengan bidang perdagangan elektronik (Kompas, 14/5/2020).
Realita tersebut perlu disadari, karena pada umumnya seniman bergerak soliter atau personal serta kurang memperhatikan aspek manajemen promosi. Aspek tersebut merupakan kiat memperkenalkan dan meyakinkan audiens dengan target audiens tahu, senang, memilih, akhirnya membeli. Kalau perlu audiens sampai terpikat pada hasil kreativitas seniman. Yang sering terjadi saat ini kebanyakan promosi sekadar pemberitahuan. Kalau hanya sebatas pemberitahuan, kekuatannya sangatlah tidak signifikan untuk mengajak audiens datang dan membeli. Para seniman masih lebih berkutat pada aspek proses kreatif sampai menghasilkan karya. Sehingga aspek lain yang merupakan hal vital sering terabaikan.
Menggeliat
Dalam proses perjalalan waktu selama pandemi ini, mereka sudah mulai menggeliat. Seniman-seniman pertunjukan terkemuka dan daerah telah berusaha memanfaatkan ruang virtual untuk melakujkan proeses kreatif walau dalam keadaan yang penuh kesulitan.
Fenomena tersebut menunjukkan sinyal positif pada tingkat awal bagi para pekerja seni dan juga masyarakat luas bahwa ekosistem seni pertunjukan dapat tetap produktif di tengah sekat pandemi saat ini. Sebenarnya para seniman tersebut, dalam dirinya memegang prinsip tidak akan mudah menyerah sesuai dengan jiwa kesenimanannya.
Setiap krisis akan memunculkan ide kreativitas dan kemanusiaan. Untuk persoalan kreativitas seniman umumnya terkejut dan kaget di awalnya, namun segera merespon kondisi krisis tersebut. Justru kondisi krisis yang sedang melanda mereka akan menjadikan momentum untuk berkarya yang melahirkan estetika baru. Peristiwa pandemi Covid-19 beriring dengan munculnya karya-karya seniman dengan tematik virus korona.
Sedangkan persoalan kemanusiaan merujuk pada aneka acara yang dilakukan dengan tujuan untuk membantu sesama di tengah krisis. Hal itu sama positifnya dengan kreativitas yang terbangun saat krisis. Masa pandemi Covid-19 bisa menjadi tantangan baru bagi seniman untuk mencapai peziarahannya di jalan sunyi menjadi lebih panjang yang pada gilirannya dapat memiliki waktu memasuki ruang estetika.
Kembali lagi pada aspek ruang virtual bagi seniman, perlu segera ditindaklanjuti dengan persiapan maupun infrastrukturnya. Pemerintah bisa membantu infrastruktur dan pengembangan kualitas SDM seniman. Sedangkan seniman perlu segera migrasi dari media fisik ke ranah digital. Tentunya memerlukan tahapan proses yang perlu dipelajari dengan ketekunan agar bisa dengan cepat membuka ruang monetisasi.
Tak kalah pentingnya, kolaborasi antar seniman untuk memperkuat komunikasi dan jejaringnya. Di samping itu, perlu dibangun kolaborasi antar seniman dengan ahli teknologi informasi. Hal itu perlu dilakukan karena di ruang virtual menuntut kepiawaian desain grafis yang dikuasai oleh desainer digital agar karya kreatif seniman menarik perhatian publik.
Sedangkan hal yang juga mendesak, dibutukan relawan untuk mempromosikan karya dan mencarikan solusi nasib senimannya agar teringankan beban hidupnya karena kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Misalnya melakukan subsidi silang. Seniman besar yang sudah memiliki reputasi dan penghasilan lebih bisa membantu seniman kecil yang membutuhkan uluran tangan guna menyambung hidup.
Ch. Dwi Anugrah
Ketua Sanggar Seni Ganggadata
Jogonegoro, Mertoyudan, Kab. Magelang
0 Komentar