Gamelan Sebagai Santapan Estetis

Dilihat 2658 kali
Gamelan sudah mendunia dan diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Pementasan gamelan oleh anak-anak dari Sanggar Borobudur Art Centre di Pendopo Bhumi Atsanti Bumisegoro Borobudur pada 18 September 2022.

Gamelan sebagai suatu media seni pertunjukan telah resmi diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Peristiwa itu ditandai dengan diserahkannya sertifikat gamelan sebagai warisan budaya tak benda dari UNESCO, diserahkan Pemerintah Indonesia kepada masyarakat yang diwakili oleh sejumlah pihak bertempat di Balai Kota Surakarta pada tanggal 16 September 2022 (Kompas, 19/9/2022).


UNESCO sebagai Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menetapkan gamelan di Indonesia sebagai warisan budaya tak benda. Implikasi dari warisan budaya tak benda adalah warisan budaya yang tak bisa diindera dengan mata dan tangan, namun jelas-jelas ada di sekitar kita.  


Penetapan tersebut berlangsung di Paris, Perancis (15/12/2021). Penetapan dan pengakuan gamelan sebagai warisan budaya tak benda tesebut ditetapkan UNESCO melalui pengkajian yang sangat akuratif. UNESCO  mencatat, gamelan sebagai salah satu sarana ekspresi budaya serta sarana membangun relasi antara manusia dan semesta. Di samping itu gamelan yang dimainkan dalam orkestra memuat nilai saling menghormati, mengasihi, dan peduli dengan sesama manusia.


Melintas Batas Kultural


Bila ditelisik lebih jauh seni pertunjukan gamelan ternyata bukan sekadar instrumen musik yang dimainkan dengan cara dipukul atau ditabuh. Di balik itu, publik dapat mengetahui bahwa eksistensi gamelan membawa makna dan nilai-nilai baru tentang sejarah kolonialisme, keberadaan, perlawanan, nasionalisme, dan politik di negeri ini.



Dalam jejak perjalanan historisnya, gamelan telah menyebar, melintas batas-batas kultural. Pada awal abad ke-19 gamelan menjadi benda eksotis yang coba diperkenalkan di bumi Eropa. Belanda merasa perlu menunjukkan wujud konkret negeri koloninya beserta kebudayaan musik yang dimiliki kepada publik Eropa lewat pameran bertajuk Internationale Koloniale en Uitvoerhandel; Tentoonstelling Colonial di Amsterdam (1883), Arnhem (1879), Paris Exposition Universelle di Paris (1889), serta  Columbian Exposition di Chicago (1889).


Di tengah keramaian pameran di Paris muncul rasa kagum dari komponis besar asal Perancis kala itu. Komponis tersebut bernama Claude Debussy. Karya-karya Debussy lahir setelah ia dengan tekun dan telaten mendengarkan tetabuhan gamelan di Paris Exposition Universelle di Paris (1889). Nada gamelan mampu menginspirasi karya-karyanya yang sangat bernuansa gamelan dengan berpusat pada permainan lima nada (pentatonik), suatu komposisi musik yang memiliki siklus selayaknya gending pada gamelan Jawa.


Terlebih lagi, setelah Jaap Kunts, pengacara muda dari Belanda, pada tahun 1919 menginjakkan kaki di tanah Jawa. Kekaguman Kunts membabi buta begitu mendengarkan gamelan dibunyikan secara eksotis di dalam tembok keraton. Bunyi gamelan itu yang menginspirasi Kunts membuat sederet penelitian tentang gamelan yang publikasinya tersebar di seluruh penjuru belahan bumi. Sebut saja penelitiannya yang bertajuk Hindu-Javanesese Musical Instruments (1968), Music in Java: Its History, Its Theory, and Its Technique (1973).


Laporan penelitian tersebut banyak menjadi rujukan dari peneliti yang akan mengungkap lebih jauh eksistensi gamelan dengan segala pernik-pernik dinamikanya. Walaupun Kunts tidak mahir menabuh gamelan, kapabilitas dari pengetahuan ilmiahnya mampu menghasilkan karya nyata penelitian yang mengawali sebaran diaspora gamelan semakin meluas di berbagai negeri, khususnya di Amerika Serikat. Jalur ilmiah gamelan dari Jaap Kunts jatuh pada muridnya Mantle Hood. Murid Jaap Kunts ini menulis lebih detail tentang gamelan untuk disertasi doktornya (Soedarsono, 2002).


Pada masa keraton atau kerajaan di Indonesia sebagai pusat kebudayaan, istilah gamelan lebih dikenal dengan sebutan kagunan gamelan. Implikasi kagunan gamelan ini  diawali dari pembuatan gamelan sampai dengan gending-gending yang dihasilkan oleh gamelan, baik secara teknis, latar belakang filosofis, serta berbagai  macam tata nilai budaya Jawa  Kagunan secara harafiah memiliki arti kepandaian, hikmat seni, dan kesenian. Seturut dengan pengertian tersebut dapat diinterpretasikan bahwa kagunan memiliki muatan intelektualitas dan estetis.


Uraian ini membuka pola pikir komunitas pada waktu itu, bahwa di  balik kagunan gamelan tersimpan sistem pengetahuan berupa nilai-nilai humaniora yang terkemas dalam simbol fisik, bahasa, notasi, kesan musikal, dan sebagainya. Simbol fisik berupa gamelan, sedangkan non fisik berujud gending dengan segala aspek di dalamnya, seperti nada (laras) baik slendro maupun pelog.


Rasa Keindahan


Dengan demikian, gamelan sebagai santapan estetis sebagai wahana pengungkap berbagai perasaan yang dikemas dalam rasa keindahan. Perasaan senang, susah, marah, dan sebagainya dapat digarap melalui bentuk keindahan musikal. Semua pengolahan unsur-unsur tersebut diwujudkan melalui tanda-tanda atau simbol musikal yang sarat akan nilai filosofis. Nada disimbolkan dengan angka, teks disimbolkan lewat bahasa, perubahan irama diaktualisasikan dengan kode-kode bunyi kendang yang menjadi satu kesatuan, sehingga memancarkan estetika musikal yang beragam.


Tak bisa dipungkiri gamelan Indonesia sudah mendunia, bahkan menjadi rujukan dari para peneliti asing untuk lebih memahami kedalamannya. Dengan adanya pengakuan dari UNESCO semakin mengukuhkan gamelan sebagai warisan budaya dunia. Namun rekognisi tersebut justru akan menantang semua komponen bangsa ini untuk menjaga, merasa memiliki, dan tetap melestarikan warisan budaya gamelan dengan langkah konkret, misalnya merawat, memainkan, melakukan proses kreatif atau mengarensemen komposisi musiknya agar semakin dicintai publik.


Terlebih untuk generasi milenial, perlu lebih mengapresiasi gamelan ini, karena pewarisan seni tradisi akan berlangsung secara berkesinambungan. Generasi milenial nantinya akan menjadi penerus tongkat estafet keberlangsungan kebudayaan di tanah air yang laju geraknya sangat dinamis selaras dengan tanda-tanda zaman.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar