Estetika Musik Bambu

Dilihat 7546 kali
Foto: penasultra.com

BERITAMAGELANG.ID - Bentuknya sungguh amat sederhana jika mau disebut alat musik. Seruas bambu kering, digepuk hingga pecah dan jadilah Lekor, alat musik  populer di Kabupaten Sikka, Flores. Tapi, Lekor  yang sederhana itu, begitu berperan dalam berbagai  pertunjukan seni tradisi di sana. Ia memberi aksentuasi ritmis dalam ensambel gong waning yang kerap dipakai untuk mengiringi tarian  lado, togo, dan bebing alias tarian perang.

Kenapa bambu yang dipecah itu menjadi demikian penting? Ini pertanyaan yang sangat menarik, lantaran pertanyaan tersebut seperti melanggengkan stigma bahwa musik bambu identik dengan sesuatu yang 'purba', 'ndeso', alias kampungan. Bukankah di era yang serba digital ini telah banyak alat modern untuk menyebut  alat musik dari logam atau kayu? Bahkan banyak perangkat yang dimodifikasi sehingga muncul perangkat musik modern. Demikian untuk lebih menabalkan stereotipe bambu tersebut. 

 

Ikon Budaya

Bila ditelisik lebih jauh, bambu memang sudah teramat dekat dengan kehidupan manusia. Bahkan telah menjadi identitas sekaligus ikon budaya rural komunitas Nusantara. Telah sejak lama masyarakat mengenalnya  untuk berbagai keperluan, tak terkecuali  sebagai sarana penghiburan sejenis musik. Di samping itu, musik bambu bisa dijumpai di berbagai tempat dengan berbagai ragam ekspresinya. Musik ini pun menjadi sangat dekat dan populer di masyarakatnya. Ia telah menciptakan kultur musik tersendiri yakni budaya musik bambu. Jenis musik ini, telah cukup lama dikenal di dataran Asia Tenggara.

Seperti diketahui, di berbagai pelosok Nusantara banyak sekali terdapat musik bambu. Dalam khazanah musik, ada bahan atau instrumen bambu yang dominan, ada yang sebagai pendukung, ada yang menyeluruh. Yang mana pun sebenarnya tidak dianggap soal, karena yang dituju adalah efektifnya suatu alat dari bahan-bahan yang bisa ditemui di lingkungannya masing-masing dalam memproduksi bunyi yang dikehendaki. Bambu pun harus menyatu dengan bahan lain pada suatu alat musik, atau menyatu dengan alat lain dalam suatu ensambel  yaitu kelompok pemain musik yang bermain bersama secara lengkap (Majalah Gong, No.93/VIII/2007).

 

Musik Tiup

Sebagai contoh alat musik tiup sejenis suling terbuat dari bambu. Jenis bambu yang dipilih untuk membuat suling, umumnya yang kecil, beruas panjang, lurus, dan berdinding tipis. Suling dibuat dalam berbagai jenis, baik dari panjang-pendeknya, besar-kecilnya, jumlah lubang nadanya, jumlah tabungnya, maupun dari sisi teknik meniupnya.

Struktur suling yang paling banyak terdapat adalah  yang memakai saluran angin (wind way) untuk meniupkan udara, sedemikian rupa sehingga anginnya membentur bidang tajam, yang membuat udara terbelah dan menimbulkan getaran di dalam tabungnya. Jenis suling seperti ini di berbagai daerah mempunyai variasi nama, semisal suling (Sunda, Jawa, Bali, Lombok), bansi (Minang), dan basing-basing (Sulawesi Selatan). Suling tersebut ketika dimainkan posisinya tampak tegak apabila dilihat dari depan pemainnya, maka suling jenis ini biasa disebut suling vertikal.

Selain itu ada suling yang posisinya horizontal ketika ditiup, seperti halnya flute di Barat. Di Indonesia sering disebut  suling miring atau bangsing. Sebagai contoh di Batak dinamakan sulim. Di Baduy (Jawa Barat) dikenal dengan nama suling kumbang. Lubang nadanya  hanya dua, tapi bisa memproduksi 5 nada dengan memanipulasi nada harmonik. Suling ini konon dianggap bisa mengusir harimau. Dengan melihat terminologi kumbang itu, maka suling miring di Nusantara ini pun tidak semuanya  merupakan pengaruh musik Barat.

Tentu saja, bahan bambu bukan hanya untuk alat tiup. Ada alat bambu yang digunakan sebagai alat musik jenis perkusi dengan cara dipukul seperti angklung dari Banyuwangi atau calung dari Sunda. 

 

Ragam Cara Memainkan

Cara memainkan musik bambu ini dan keperluan peristiwanya juga memiliki keragaman besar. Ada yang hanya dimainkan sendirian, berpasangan, dan ada yang dimainkan oleh belasan bahkan puluhan orang dalam suatu ensambel, seperti halnya jegog di Bali. Jegogatau rindik, cara memainkannya dengan cara dipukul dengan stick (pemukul khusus). Cara bermain seperti ini tentunya berbeda dengan  bambu tapuk dari Pacitan, Jawa Timur yang dimainkan dengan cara ditapuk atau ditabok dengan karet  yang biasa dipakai sebagai sandal japit.

Sedangkan calung Sunda atau angklung paglak di Banyuwangi biasa dimainkan di ladang sebagai selingan di antara waktu bekerja. Ada alat bambu untuk mengiringi nyanyian dan tarian. Ada pula untuk upacara seperti di Bali dan Karo, untuk ronda di Banyuwangi yang dikenal dengan sebutan patrol. Lain lagi di Banyumas alat bambu digunakan untuk mengusir burung dengan sebutan boncis.

Adapun boncis ini dianggap sebagai cikal bakal alat musik calung yang berkembang di daerah Banyumas dan sekitarnya. Di Flores, alat musik bambu yang dikenal dengan nama cantong sering digunakan untuk membangunkan orang-orang yang terlambat bangun tidur atau untuk mengisyaratkan bahwa matahari sudah tinggi.

Penggunaan bambu sebagai alat musik, tak pelak karena alam telah menyediakan tumbuhnya bambu di berbagai wilayah tropis dan subtropis. Menurut Elizabeth Widjaja, peneliti LIPI, ada kurang labih 1.500-an jenis bambu di penjuru dunia. Di Indonesia, terdapat 157 jenis, dan 70 di antaranya merupakan jenis eksklusif yang hanya ada di Indonesia. Karena itu, seperti ditulis Jodhi Yudono (Suara Pembaruan, 11 April 2007) sangatlah membumi, jika budaya kita adalah juga budaya berbambu, yang konon fungsinya dalam kehidupan pun tak kurang dari jumlah jenisnya.

Dengan demikian, maka menjadikan bambu sebagai  alat musik itu merupakan bagian dari kontekstualnya kehidupan itu sendiri, yang tidak terpisah antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Seperti bisa disaksikan, kehidupan di rumah, bambu digunakan mulai dari tiang penyangga, tali pengikat sampai pada atap pelindungnya. Bahkan seperti dituturkan oleh beberapa abdi dalem Keraton Yogyakarta, awalnya istana Yogyakarta hanyalah berbentuk bangunan yang terdiri dari tiang-tiang bambu. Baru pada tanggal 7 Oktober 1756 diganti dengan tembok dari batu bata, tiang dari besi, dan lantai marmer dari Belanda. 

Jika lahirnya alat musik bambu dan kesenian pada umumnya untuk mencapai suatu keselarasan kehidupan sesuai dengan ruang waktunya, maka yang utama bukanlah untuk eksklusif, agar melulu bambu, atau hanya kita yang memiliki. Saling memberikan kontribusi atau berbagi maupun sharing mestinya lebih penting ketimbang hak memiliki dan menguasai.

Catatan historis banyak membuktikan proses saling berbagi seperti itu. Seperti bedug di masjid, cerita Mahabharata dan Amir Hamzah dalam wayang, gitar dan piano dalam musik pop di Nusantara, gamelan di luar negeri, adalah sebagian contoh dimana keaslian atau kepemilikan tidak perlu diperebutkan. Atas dasar itu, maka layak disesali jika beberapa tahun silam ada suatu negara yang berusaha mengukuhkan diri sebagai pemilik budaya angklung atau reog.     

Pada akhirnya, musik bambu pantas menjadi salah satu ikon budaya Nusantara karena menunjukkan fenomena kekayaan musik yang tak terkira. Kekuatan estetikanya talah merambah berbagai wilayah baik Nusantara maupun mancanegara. Malah, bambu menjadi sumber yang tak pernah habis untuk diolah menjadi musik baru sebagai sumber yang sangat terbuka untuk karya inovasi. Dengan kata lain, bambu bisa dieksplorasi lewat berbagai elemen bunyi, pola ritme, hingga melahirkan ekspresi musikal yang beranekaragam.


Ch. Dwi  Anugrah

Ketua Sanggar Seni Ganggadata

Desa Jogonegoro, Mertoyudan

Kabupaten Magelang   

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar