Eksplorasi Seni Tari dari Relief Candi Borobudur

Dilihat 9984 kali
Karya tari bertajuk Maitrabala dengan koreografer Lukman Fauzi, S.Sn dari Bengkel Seni Sasana Aji Borobudur ikut ambil bagian dalam Gelar Budaya Aktualisasi Nilai Relief Candi Borobudur Melalui Seni Tari. Sebelum tampil, seluruh penari sudah dites antigen Covid-19 dengan hasil negatif.

Candi Borobudur karya putra Nusantara sejak zaman Dinasti Syailendra sampai saat ini masih tetap kokoh berdiri bagaikan menancap sampai ke dasar bumi. Gaungnya sudah dikenal publik merambah ke seluruh penjuru mayapada. Sebagai bangunan suci peninggalan agama Buddha, di dalamnya memuat banyak relief-relief yang tak ternilai manfaatnya sebagai bahan kajian berbagai disiplin ilmu. 


Candi Borobudur sebagai puncak peradaban Nusantara itu, berdiri kokoh di dataran yang didukung eksotikanya oleh tujuh gunung yang mengelilingi, yakni Merapi, Merbabu, Telomoyo, Andong, Sindoro, Sumbing, dan seakan ditopang langsung oleh perbukitan Menoreh. Perbukitan yang membujur memanjang bagaikan barisan pasukan yang panjangnya tiada bertepi.


Tak bisa dipungkiri, peningggalan Dinasti Syailendra tersebut adalah sebuah karya agung atau mahakarya budaya yang telah diakui dunia, sebagaimana rekognisi dari UNESCO. Bila melihat tata letaknya, tentu lokasinya didirikan dipilih berdasarkan konsiderasi tertentu.


Secara semiotika, letak Borobudur berdekatan dengan pertemuan dua sungai, yaitu Elo dan Progo. Bila dirunut dari makna simbolisnya, seolah berorientasi kedua sungai suci di India, yaitu Sungai Gangga dan Yamuna. Di pertemuan kedua sungai tersebut, didirikan bangunan-bangunan sebagai tempat peribadatan. Selain itu, secara faktual, sungai-sungai besar mengandung batu-batu besar sebagai bahan baku pembuatan candi (Timbul Haryono, dkk., 2011).


Dari banyaknya relief yang terdapat di Candi Borobudur, mulai dari relief Karmawibanga sampai Gandavyuha yang jumlahnya sampai 1.460 panel relief berbentuk naratif (cerita), tentunya merupakan sumber inspirasi yang tak pernah kering untuk dapat dijadikan penggalian ide berkarya seni baik seni pertunjukan, seni rupa, maupun seni sastra.


Hasil Eksplorasi


Melalui proses panjang dengan inisiasi Balai Konservasi Borobudur (BKB), para seniman dari 6 sanggar di Borobudur (Sanggar Kinara Kinari, Sasana Aji, Avadana, Laskar Menoreh, Omah Guyub, Ahmad Danom) telah dapat menghasilkan karya seni tari hasil ekplorasi dari relief-relief yang ada di Candi Borobudur. Karya tersebut telah dipentaskan melalui live kanal youtube pada 14/12 lalu. Acara tersebut sekaligus memperingati 30 tahun Candi Borobudur diakui sebagai warisan dunia.


Bila dicermati hasil tayangan dari masing-masing sanggar telah menghasilkan karya hasil dari proses ekplorasi. Sebagaimana diketahui ekplorasi dalam seni tari adalah suatu proses penjajagan yang merupakan kegiatan untuk mendapatkan rangsang dari luar. Ekplorasi meliputi berpikir, berimajinasi, merasakan, dan merespon (Sumandiyo Hadi, 2003).


Adapun seni tari sebagai suatu bentuk ekpresi jiwa yang diungkapkan melalui gerak ritmis yang estetis, tentunya tidak lepas dari berbagai apek yang melingkupinya, seperti wiraga (teknis gerak), wirama (kepekaan irama), wirasa (kepekaan rasa). Untuk menghasilkan karya tari (koreografi) ideal, ketiga aspek tersebut masing-masing saling berkelindan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.


Apabila dicermati, masing-masing sanggar telah menghasilkan karya yang sangat berbeda dengan gaya tari yang sudah ada selama ini. Meminjam terminologi Martinus Miroto (seniman, akademisi ISI Yogyakarta) yang juga menjadi narasumber BKB dalam kegiatan tersebut menegaskan, karya tari yang dihasilkan para seniman Borobudur tersebut bisa dinamakan gaya Tari Borobudur.


Gaya Tari Borobudur merupakan jenis tari yang memiliki karakteristik khusus, yakni bentuk-bentuk pose ketubuhan tribangga dan tema bersumber dari relief Candi Borobudur sebagai identitas kultural. Sebagai hasil ekplorasi dengan sumber inspirasinya, dari relief candi, sudah tentu karya yang dihasilkan berorientasi pada piktoral relief yang divisualiasikan melalui media gerak.


Nampak berbagai detail gerak dari relief di Candi Borobudur tervisualisasikan sebagaimana tertuang dalam kitab Natya Satra dari India menyebutkan secara detail dan rinci beberapa kata kunci pada saat menari, ada terminologi karana (pose gerak saat menari), sthanaka (posisi kaki), serta nrtta hasta (gerak tangan).


Para seniman pencipta gaya tari Borobudur semestinya merasa bangga karena momentum tersebut sebagai penanda bahwa langkah-langkah inovasi sudah dilakukan, sehingga menghasilkan karya spektakuler.


Tindak Lanjut


Peluncuran karya tari identitas Borobudur tersebut telah terlaksana. Tinggal saat ini memikirkan tindak lanjut dari kegiatan tersebut. Alangkah sayang kalau proses kreatif yang sudah berlangsung lama tersebut hanya berhenti pada saat pentas beberapa waktu lalu. Adapun pemikiran yang diperlukan ke depannya diantaranya, pertama, BKB memberikan ruang agar karya para seniman tersebut dapat dipentaskan rutin baik di kawasan Candi Borobudur maupun di luar kawasan.


Kedua, diseminasi karya tersebut ke publik. Untuk lebih menguatkan identitas tari tersebut, sebaiknya dibuat festival antar sanggar dari Borobudur atau luar Borobudur. Ketiga, hak cipta dari para seniman tersebut segera direalisasikan sebagai reward dari proses kreatif yang telah dilakukan.


Keempat, BKB dapat kerja sama dengan pemangku kepentingan seperti, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, agar karya tersebut dapat dipahami dan diketahui oleh para peserta didik di lingkungan satuan pendidikan. Bila dimungkinkan dapat membuat program kerja sama apresiasi seni tari masuk sekolah. Apabila program tersebut dapat direalisasikan, implementasi Penguatan Pendidikan Karakter sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 87 tahun 2017 dapat terealisasi sampai tataran praksis.


Kelima, para seniman terus melakukan langkah inovasi untuk mengelaborasikan karya yang sudah dihasilkan. Di samping teknis koreografi, juga perlu diperkuat literasi karya tari berbasiskan sastra. Pelajari sastra Candi Borobudur secara akurat dari sumber referensi yang dipercaya.


Dengan demikian, prinsip dasar agar karya tersebut tetap survive adalah kerja sama berbagai pihak dan karya tersebut mengakar sampai komunitas basis, sehingga komunitas ikut merasa memilki.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar