Eksistensi Rumah Joglo

Dilihat 3219 kali
Pendopo sebagai bagian depan dari rumah joglo memiliki nilai seni dan makna filosofis yang sangat tinggi

Dalam peta kebudayaan Jawa dapat diketahui secara turun-temurun bahwa titik pusat kebudayaan berada di tempat kediaman para raja sebagai pemegang tongkat kekuasaan. Bahkan secara tegas dinyatakan pusat kebudayaan tersebut berada di kawasan istana sejak zaman Kerajaan Mataram. Pusat kebudayaan tersebut berada di kawasan Negari Gung (negara agung).


Kawasan lain di seluruh Pulau Jawa dan Madura kemudian dibagi-bagi menjadi beberapa tipe kawasan seperti Tanah Pasundan, Tanah Banyumasan, Pesisiran, dan Manca Negari (wilayah Jawa Timur). Masing-masing kawasan tersebut hidup berdampingan sebagai suatu katunggalan (kekuasan tunggal) yakni di bawah otoritas panji-panji Kerajaan Mataram (Arya Ronald, 2002).


Adapun tempat tinggal para bangsawan tersebut di tempat kediaman yang sering dinamakan rumah joglo. Suatu bentuk rumah yang memang dikhususkan bagi para bangsawan sebagai cerminan stratifikasi sosialnya. Maka tak mengherankan, sampai saat ini rumah joglo menjadi idaman bagi sebagian besar masyarakat guna melestarikan tradisi kepemilikan rumah yang memiliki nilai kultural tinggi tersebut.

 

Keunikan Spesifik

 

Pada dasarnya setiap bangunan hunian ini memiliki keunikan tersendiri. Salah satu yang membuatnya terlihat unik adalah karena setiap bangunannya memiliki makna filosofi tersendiri. Hal itu menandakan bahwa pendirian rumah di Jawa di samping memperhitungkan aspek desain arsitekur, juga tidak meninggalkan aspek filosofis yang sarat akan pesan-pesan moral.


Setiap rumah tradisional Joglo umumnya dibangun menggunakan 4 tiang utama (saka guru). Bagian ini adalah pondasi utamanya untuk menopang semua bagian bangunan. Terasnya biasanya luas dan tanpa sekat. Makna filosofisnya sebagai suatu tanda untuk menjalin silaturahmi bersama tetangga serta dijadikan untuk sarana interaksi sosial bersama masyarakat setempat.


Pintu rumah Joglo umumnya berada di tengah ruangan. Filosofinya menggambarkan tentang keharmonisan dan keterbukaan antar pemilik rumah serta orang lain. Ada pagar mangkok pada hunian ini berasal dari tanaman perdu. Dimana tingginya tidak sampai satu meter. Filosofinya adalah supaya bisa berinteraksi dengan tetangga lebih mudah.


Setiap hunian Joglo selalu menggambarkan status sosial pemilik rumahnya. Itu karena biaya pembuatannya mahal, sehingga hal tersebut dijadikan sebagai gambaran status sosial dan ekonomi pemilik rumah yang merupakan kalangan menengah ke atas. Pada zaman feodal pemilik rumah joglo adalah keluarga aristokrat kerajaaan, seperti keluarga raja, para pangeran juga para petinggi kerajaan lainnya.


Setiap bagian dari rumah Joglo memiliki prinsip hierarki atau tingkatan dalam struktur rumah yang unik. Prinsip tersebut berupa bagian depan rumah yang memiliki sifat umum, sedangkan bagian belakang memiliki sifat yang khusus. Oleh karena itu, akses untuk masuk ke bagian belakang rumah hanya diberikan kepada orang-orang tertentu.


Rumah Joglo pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu pendopo (bagian depan), pringgitan (bagian tengah), dan  omah njero (rumah dalam). Struktur keruangan dalam rumah joglo  tersebut merupakan suatu kesatuan yang saling terkait antara bagian satu dengan lainnya.


Pertama, ruang pendopo. Letak pendopo secara umum berada di depan, yang bermakna bahwa orang Jawa memiliki sifat yang terbuka dan ramah. Selain itu, di pendopo terdapat fasilitas bagi tamu, seperti tikar sebagai alas duduk. Hal itu bertujuan supaya tak ada kesenjangan antara tamu dan tuan rumah.


Kedua, pringgitan merupakan bagian dari ruang tengah yang umum dipakai menerima tamu yang lebih dekat atau kerabat. Bentuk pringgitan seperti serambi berbentuk tiga persegi dan menghadap ke pendopo. Pringgitan berfungsi sebagai tempat mempergelarkan pertunjukan wayang dan juga acara-acara tertentu bagi pemiliknya, seperti upacara penganten, khitanan, ruwatan dan sebagainya. Pringgitan bersifat semi terbuka, suasana ruang dibuat agak remang-remang dan bersifat mistis.


Ketiga, omah njero (rumah dalam). Rumah dalam merupakan pusat dari susunan ruang-ruang lain yang berfungsi sebagai ruang keluarga dan bersifat privat. Pada bagian ruang ini juga berfungsi sebagai penerima tamu bagi kaum perempuan. Suasana yang tercipta adalah tenang, sakral dan berwibawa. Pada rumah dalam terdapat tiga buah ruang yang disebut senthong.


Adapun pemahanan senthong merupakan tiga buah kamar yang berjajar berurutan dengan arah hadap ke Selatan. Senthong kiri dan senthong kanan berfungsi sebagai ruang tidur bagi tuan rumah, menyimpan harta benda dan pusaka. Senthong tengah merupakan ruang tertutup yang berfungsi sebagai tempat meditasi, tempat tidur bagi pengantin yang baru menikah dan tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Ruang ini juga disebut sebagai petanen atau krobongan. Dalam kondisi biasa, ruang ini terdapat tempat tidur lengkap dengan perlengkapannya.

 

Manunggaling Kawulo-Gusti


Bangunan tradisional Jawa memiliki banyak keunikan secara arsitektur, seni, dan ragam hias. Hal tersebut merupakan hasil dari olah pikir dan permenungan secara fisik dan nonfisik. Filosofi tersebut bermakna bahwa seni arsitektur rumah tradisional Jawa memiliki nilai dan perwujudan konsep manunggaling kawulo Gusti (persatuan manusia dengan Tuhan). Ajaran ini juga dapat dimaknai sebagai lambang jati diri masyarat Jawa. Dalam membangun rumah terdapat setidaknya tiga kriteria ideal bagi masyarakat Jawa, yaitu pemenuhan kebutuhan diri, perasaan ingin diakui oleh sekelilingnya, dan juga pencapaian diri atas kehidupan.


Menelisik dari keunikan rumah adat tradisional tersebut kiranya dapat dipakai sebagai parameter dan refleksi semua pihak, agar nilai-nilai luhur kebudayaan yang sudah dirintis sejak dulu tersebut wajib dipertahankan dan dikembangkan dengan terus tidak henti-hentinya dipelajari dan digali sampai kedalamannya.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar