Cerdas Memilih Sumber Informasi

Dilihat 1631 kali
Anak-anak agar diarahkan orang tua supaya cerdas memilih informasi

Dalam dinamika perjalanan historis peradaban manusia, pada saat ini bisa dikatakan sudah masuk era paling mudah mendapatkan informasi. Bagaikan air bah, banjir informasi menghampiri semua orang, baik itu pembuat kebijakan maupun masyarakat tanpa mengenal kompromi.


Bertubi-tubi, susul menyusul bagaikan menggulung poros dunia muncul secara berseliweran tautan berita, foto, video, gambar, gawai tanpa bisa dikendalikan. Di satu sisi, hal ini patut disyukuri karena banyak hal dapat diketahi dengan mudah. Informasi kini menjadi barang yang mudah didapat. Internet itu lautan informasi, yang mudah dicari dengan Google atau mesin pencari lain.


Demokratisasi informasi terjadi di mana-mana secara masif. Banjir informasi tersebut sebenarnya telah melanda merasuki sendi-sendi kehidupan. Namun banyak kalangan yang tidak merasakan, bahkan kurang peduli. Gerakan tersebut dianggap hanya dampak dari fenomena informasi global yang harus diterima. Secara perlahan dan pasti, masyarakat sudah mulai terseret arus yang melanda tersebut.


Revolusi teknologi informasi yang melahirkan media sosial atau aplikasi pesan singkat adalah salah satu faktor penyebabnya. Media baru tersebut memungkinkan semua penggunanya bisa memproduksi konten sendiri, menayangkan sampai aktif dalam menyebarluaskan tanpa menyiapkan manusia-manusia penggunanya.


Era Disinformasi


Kehadiran media baru pada satu sisi memudahkan siapa pun membuat informasi sehingga bisa melimpah. Pada sisi lain, memudahkan siapa saja yang menyebarkan informasi dengan tendensi tertentu yang kadang banyak berbau hoaks. Era informasi akhirnya menjelma menjadi era disinformasi, seperti penyebarluasan berita bohong, ujaran kebencian, diskriminasi, dan sebagainya (Kompas, 28/6-2021).


Untuk itu, maraknya banjir informasi tersebut perlu diantisipasi secepat mungkin. Adapun salah satu caranya dengan memilah informasi yang dikonsumsi. Sebagai misal bila terkait dengan Covid-19, bisa memilih dari sumber informasi lembaga resmi. Jangan malah mencari ke sumber yang disangsikan kredibilitasnya.


Kecerdasan untuk menyeimbangkan informasi perlu diimplementasikan. Meski informasi yang didapatkan negatif, perlu juga menyeimbangkan dengan informasi positif. Dengan demikian kemampuan untuk crosscheck (memeriksa kembali) perlu lebih dikedepankan. Tak kalah pentingnya, untuk menghindari kecemasan dalam mengambil keputusan akibat banjir informasi, masyarakat perlu diedukasi untuk meningkatkan keberanian berpikir kritis.


Keberanian berpikir kritis ini bukan berarti meragukan integritas narasumber, tetapi merupakan bagian dari proses validasi atas informasi sehingga memberi pertimbangan secara tepat dalam membuat keputusan. Penulis pernah mempunyai pengalaman menarik. Beberapa waktu lalu, penulis dikirimi informasi melalui media whatsapp group, berisi konten video yang mengeskplanasikan semua guru non ASN yang sudah sertifikasi akan diangkat menjadi ASN atau P3K.


Setelah mendapat informasi tersebut, penulis segera konfirmasi ke sumber resmi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ternyata informasi tersebut merupakan berita bohong. Padahal sebarannya sudah sampai grup tingkat provinsi. Inilah pentingya kita mempunyai kemampuan berpikir kritis untuk melakukan crosscheck ke berbagai sumber terkait.


Literasi Digital


Di era banjir informasi ini, literasi digital di pendidikan formal lebih penting dan mendesak. Dengan mengoptimalkan literasi digital, para peserta didik akan lebih bijak dalam menggunakan media sosial yang selama ini menjadi saluran utama informasi yang membanjiri masyarakat.


Bijak dalam menggunakan media sosial sejak dini turut membentuk karakter peserta didik, terutama dalam membiasakan berpikir kritis, kreatif, dapat bekerja sama, menghargai diri sendiri dan orang lain, serta memiliki empati. Tentunya selain pihak sekolah, peran keluarga juga sangat menentukan untuk dapat menyikapi sumber informasi yang akan merasuk ke jiwa anak-anak.


Tiba waktunya literasi dipahami secara lebih komprehensif, bukan hanya sekadar membaca buku dan teks tertulis. Namun perlu dielaborasikan dalam terampil membaca film, media sosial, musik, bahkan membaca alam dan seluruh realitas serta fenomena di sekitarnya. Perluasan literasi ini mengubah poros tekanan membaca menjadi sebuah keterampilan menangkap yang substansi dari objek yang dibaca.


Menghadapi gempuran dan wabah disinformasi ini kiranya diperlukan upaya untuk memperkuat media-media arus utama (mainstream). Pasalnya, proses seleksi berita di media mainstream sangat ketat dengan berpijak pada prinsip-prinsip jurnalistik.


Media mainstream sampai kapanpun diyakini publik akan tetap menjadi rujukan masyarakat untuk memastikan kebenaran suatu informasi. Proses check dan recheck, serta seleksi ketat melalui redaksi, membuat media mainstream masih dipercaya validitasnya.


(Oleh: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar