Aku berdiri di sudut pintu,
kakiku beku diborgol jagat,
bertabur pilu,
aku segera bangkit,
melawan raga yang terjangkit.
Sepatuku hazmat menyekatku ke ujung bilik kaca...
Penggalan puisi bertajuk 'Nirbaya' karya Lucia Arita Ayu mahasiswi Poltekes Kemenkes Semarang tersebut menggetarkan semua yang menyaksikan. Lomba cipta dan baca puisi Polkesmar nasional yang ditayangkan lewat channel youtube tersebut bertujuan untuk memberikan spirit moral bagi tenaga medis yang berjuang di garda depan melawan pandemi Covid-19.
Seperti diketahui, perjuangan dan pengorbanan tenaga medis sering kita dengar, lihat, dan rasakan, dari satu sisi saja ketika mereka berjuang sekadar mengenakan alat pelindung diri (APD). Ketika kita menyaksikannya saja sudah membuat kita kepanasan lantaran banyaknya lapisan yang harus mereka kenakan.
Mereka pasti sangat tidak nyaman. Belum lagi berjam-jam mereka harus memakainya dalam bekerja. Publik juga sudah mengetahui banyak tenaga medis yang telah gugur setelah dinyatakan terpapar Covid-19. Hal ini terjadi karena mereka memperjuangkan hidupnya untuk menyelamatkan bangsa ini.
Dalam hati para tenaga medis pun menjerit, menangis ibarat dalam dasyatnya medan pertempuran melawan Covid-19 demi menyelamatkan pasien-pasien yang terus berdatangan. Adapun lawan dalam pertempuran tersebut tidak kelihatan karena ukurannya mikro, tetapi siap menyerang semua orang juga tenaga medis yang berada di garda depan.
Sungguh sangat ironis sekali, mereka yang berada di garda depan malahan menjadi korban. Kalau hal itu terjadi berlarut-larut, jumlah tenaga medis yang tersedia semakin berkurang, padahal agresifitas Covid-19 semakin tak terkendali. Prosentase yang tidak seimbang itu akan membayakan situasi negara pada kesehatan warganya.
Ada kalimat menyentuh yang mereka sampaikan ke publik. "Kalian tetap di rumah untuk kami, kami tetap bekerja untuk kalian"Â. Demikian pesan moral dari para tenaga medis yang mengandung makna mendalam. Kalimat tersebut mengisyaratkan suatu himbauan sebagai salah satu cara memutus mata rantai penularan Covid-19 (Rita Kartika Sari, 2020).
Stimulasi moral
Fenomena tersebut mendorong empati banyak pihak termasuk wilayah seni untuk memberikan stimulasi moral kepada para tenaga medis. Seni merupakan sebuah karya manusia yang merupakan ungkapan ekspresi dalam diri, dalam bentuk audio, visual, sastra, dan sebagainya. Seni memiliki tujuan dan fungsi tertentu, bisa diterapkan dalam bidang pendidikan, agama, hiburan, kesehatan, informasi, komunikasi, artistik, dan lain-lain.
Sedangkan puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinya. Struktur fisik puisi terdiri atas baris-baris puisi yang sama membangun baris-baris puisi (diksi, pengimajian, kata konkret,majas, verivikasi dan tifografi). Sedangkan struktur batin puisi terdiri atas tema, nada, perasaan, dan amanat.
Puisi sebagai pengguna bahasa yang padat dan sarat dengan makna. Kepadatan bahasa yang digunakan mencerminkan sifatnya yang asosiatif dan sugestif. Sebagai ungkapan ekspresi, puisi merupakan suatu bangunan utuh yang dibangun oleh berbagai unsurnya.Unsur pembangun itu bekerja sama satu sama lain, saling menjalin sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dan menimbulkan kesan tertentu. Puisi merupakan sebuah struktur kompleks dan memerlukan analisis untuk memahami unsur tersebut, yang bersifat padu karena tidak dapat dipisahkan tanpa mengaitkan unsur yang lain.
Puisi terdiri atas dua unsur pokok, yakni struktur fisik dan struktur batin. Apa yang nampak oleh pembaca melalui bahasanya, itulah yang disebut struktur fisik. Di pihak lain, makna yang terkandung di dalam puisi yang tidak secara langsung dapat dihayati pembaca, itulah yang disebut struktur batin (Waluyo, 1991).
Tujuan puisi pada umumnya tertulis secara tersirat dari kata-kata kiasan yang digunakan oleh penyair. Tujuan puisi bermacam-macam di antaranya untuk menyampaikan pesan religius, menyampaikan pesan peduli sosial, ungakapan perasaan cinta, perasaan empati dan lainnya.
Penyampai pesan
"lagi-lagi memberi ruang bagi mereka yang tumbang. Sedang anakku yang malang menginginkan aku pulang. Tanganku kaku.. Merayu gagang pintu di bilik ruang tunggu. Aku haus.. ludahku kering"
Penggalan puisi karya Lucia Arita Ayu dari Punduhan, Jogonegoro, Mertoyudan dalam lomba puisi Polkesmar nasional tersebut menunjukkan betapa beratnya tugas tenaga medis. Puisi tersebut diciptakan dengan tujuan sebagai penyampai pesan empati atau kepedulian sosial.
Empati memang layak ditujukan kepada tenaga medis. Mengingat begitu banyaknya pasien yang mereka tangani dan semakin lama semakin bertambah. Nyawa pun akan menjadi taruhannya dari perjuangan mereka. Satu demi satu pejuang di garda depan itu mulai berguguran demi raga yang lain.
Demi menjaga keluarga yang dicintai banyak tenaga medis memilih meninggalkan rumah dalam berjuang melawan Covid-19. Mereka tidak ingin mengambil resiko pulang dengan membawa virus dan menulari orang-orang tercinta di rumah dan lingkungannya.
Kita juga belum tahu, kapan pandemi ini akan berakhir. Hanya dengan doa, kesadaran bersama dan kerjasama, pandemi ini akan berakhir. Selama pandemi ini masih berlangsung, kita meyakini para tenaga medis akan terus menangani pasien-pasien yang terpapar Covid-19.
Dengan demikian, para tenaga medis ini akan semakin lama tidak bertemu dengan orang-orang terkasih, orang tua, suami, istri, ataupun anak-anak tercinta secara langsung. Alasan mereka tidak pulang untuk sementara waktu itu cukup beralasan, karena mereka ingin melindungi keluarga dan lingkungan tercinta agar tidak terkena resiko terinfeksi Covid-19. Perjuangan mereka sangat besar dan berisiko, karena harus mempertaruhkan kesehatan sekaligus nyawanya demi tugas mulia yang harus mereka kerjakan dengan niat tulus.
Di tengah situasi pandemi menuju normal baru ini, ternyata ruang kebudayaan masih dapat memberikan kontribusi besar melalui karya-karyanya termasuk puisi untuk memberikan stimulasi moral kepada tenaga medis agar semakin tegar dalam menjalankan tugas sucinya.
Karena kalau disadari seorang penyair atau seniman puisi pada dasarnya bukanlah orang yang sekadar menggerakkan badannya untuk bergerak dalam pola gerak dan intonasi yang berkarakter. Penyair dalam menciptakan karyanya sesungguhnya sedang meniti rasa, menjalani pencarian dan penemuan tentang jati dirinya. Bila dilakukan secara intensif, akan menemukan roh, pemaknaan, dan karakter yang sesungguhnya. Bukan hanya bentuk roh dan karakter fisik, tapi juga nilai budaya yang memengaruhi. Pencarian tersebut merupakan pengalaman berharga yang bisa dibagikan dengan penonton selaras dengan aktualitas temanya.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
0 Komentar