Alih Generasi Seni Tradisi

Dilihat 1478 kali
Anak-anak milenial perlu diperkenalkan dengan seni tradisi agar alih generasi bisa tetap berlanjut. Kegiatan Sanggar Seni Borobudur Art Centre Borobudur yang melakukan pendampingan seni tradisi secara intensif.

Wisnu, bocah usia 7 tahun itu duduk menyelinap terhimpit di sela rancakan gamelan. Hari tengah malam, saat ia dibangunkan oleh emaknya. Sejak siang ia memang sudah  wanti-wanti agar dibangunkan untuk nonton wayang yang ditanggap seorang warga kampung di tetangga desanya.


Berjalan sekitar 1 kilometer menyusuri pematang kecil ke tempat pergelaran tak membuatnya kelelahan. Tak sampai 15 menit, anak dan emak itu langsung tenggelam di tengah penonton yang berjejal. Wisnu kecil melepas pegangan tangan emaknya, menyelusup di antara tubuh-tubuh dewasa, dan segeralah ia bersimpuh di sela gamelan tadi. 


Malam itu, saat adegan goro-goro tiba. Satu adegan yang ditunggu-tunggu banyak penonton lantaran di dalamnya tersebar pernik-pernik falsafah kehidupan dari sang dalang. Juga saat gending-gending populer dikumandangkan.


Pandangan matanya terfokus pada si dalang yang rupanya telah memesona dirinya. Ia pun meminta emaknya untuk selalu mengajaknya datang setiap ada pergelaran wayang kulit. Di rumah ia meniru sabetan sang dalang, dengan wayang kardus yang dibelikan emaknya. Sembari memainkan wayang, mulutnya menirukan gending-gending pakeliran. Sesekali mencoba antawacana sebagaimana dilakukan oleh dalang.


Memori masa kecil itu begitu lengket dalam ingatan Wisnu yang kini menjadi seniman, dalang tepatnya. Meski belum sekondang dalang yang diidolakan, namun pengalaman masa kecil itulah yang kelak membawanya mengarungi jagad kesenian. Sebuah pengalaman yang mengajarkan dirinya untuk lebih menekuni seni secara serius.


Wisnu memang bukan keturunan seniman. Ia hanya tahu dari cerita orang, bapaknya yang hanya menemaninya selama 2 tahun  sejak ia dilahirkan adalah pemain ketoprak, yang kesohor di desa-desa lereng gunung Merbabu. Yang pasti, kini Wisnu lebih menekuni profesinya sebagai dalang. Ia pun memompa hasrat seninya, dari yang semula secara otodidak, kemudian masuk perguruan tinggi seni. Ia kini telah menentukan jalan hidupnya sebagai seniman.


Bakat Tumurun


Ilustrasi di atas menandaskan bahwa dunia seni, sebagaimana sering disebut secara common sense, adalah bakat yang diturunkan  atau yang diwariskan. Dalam ilmu reproduksi pun telah mengiyakan pandangan itu. Banyak  figur yang bisa dijadikan contoh. Sebutlah contoh keluarga Yasa Sudarma dari Padepokan Cipta Budaya Tutub Ngisor, Kecamatan Dukun Magelang yang telah melahirkan seniman-seniman tari, dalang, dan karawitan dalam suatu komunitas yang solid.


Tapi ternyata tak semua seniman lahir dari darah seorang seniman.


Dalam konstruksi pemikiran modern, kemampuan seni itu bisa digali, ditemukan, dan dibangun bentuknya. Implikasinya, seorang seniman tak semata lahir, tapi juga dilahirkan atau diciptakan. Ini alasan kehadiran sekolah formal kesenian atau sanggar seni mempunyai arti penting dan strategis. Bukan sekadar menampung bakat, tetapi cakap membentuk dan menjadikan siswa sebagai seniman. 


Lebih dari itu, merekalah penjaga gawang pewarisan seni  tradisional. Di tengah krisis pewarisan seni di lingkup keluarga seniman, lembaga inilah yang pantas mengambil alih peran tersebut.


Konsep pewarisan (inheritance) mengadopsi dunia riil yakni suatu entitas/objek dapat mempunyai entitas/objek turunan. Di Indonesia, sebelum pendidikan seni dikenalkan di sekolah ada cara mengalihkan keterampilan secara ketukangan (crafmanship) seorang seniman/kriyawan dalam hal ini orang tua kepada anak dengan cara pewarisan.


Cara pewarisan ini bagi orang tua merupakan kebanggaan. Cara ini bagi lingkungan masyarakat didukung dan dilakukan untuk menurunkan seni kepada anak-anaknya. Walaupun tidak semua anak mewarisi bakat orang tuanya, namun baknyak realita yang tersibak, bahwa faktor internal yang kuat ditambah faktor gen sangat mempengaruhi minat anak untuk mendapatkan pewarisan seni dari orang tuanya. 


Sebut saja anak-anak wayang Ngesti Pandawa Semarang, Wayang Orang Bharata Jakarta, Kethoprak Siswo Budaya Tulungagung, dan sebagainya darah seni orang tua menjadi pemicu anak-anaknya untuk terus melanjutkan dalam berkesenian (Endang Caturwati, 2013).


Pewarisan Kultural Keluarga


Sejak awalnya seni tradisi memang selalu bersifat lokal, terbatas pada wilayah geografis komunitas pemilik kesenian tersebut. Memang ada nilai ekonomi di dalamnya, tetapi sifatnya bukanlah suatu yang industrial. Oleh faktor difusi, ada yang bentuk maupun ekspresinya serupa dan mirip di kawasan lain, tetapi selalu di setiap tempat memiliki kekhasannya sendiri, baik dalam penamaan, cara memainkan, dan juga konteks sosial ketika suatu seni itu dimainkan.


Dari kekhasannya tersebut, sampai saat ini seni tradisi, dengan segala bentuk dan berbagai kawasan, mampu bertahan sebagai suatu pengetahuan maupun keterampilan karena diantaranya adanya sistem pewarisan yang bersifat kultural. Seni tradisi  pada umumnya bersandar pada  pewarisan yang berbasis pada keluarga. Seorang seniman secara kultural akan menjadikan anak atau cucunya sebagai seniman.


Mungkin karena sifatnya yang kultural itu, maka ada banyak pola pewarisan seni yang berbasis keluarga ini. Atau bisa dikatakan pewarisan ini tidak memiliki pola yang tetap dan tunggal. Ini tidak  saja dalam proses memelajari tetapi juga dalam hal kelak jika si seniman mewariskan potensi yang dimiliki.


Dengan demikian pewarisan seni tradisi hendaknya keluarga juga punya peran untuk meneruskan pada generasi berikutnya secara alami dan kultural. Alih generasi tersebut sangat penting untuk keberlangsungan seni tradisi ke depannya agar tidak terjadai keterpenggalan generasi. Sedangkan kalau generasi berikutnya ingin lebih mengembangkan lebih jauh dapat meneruskan ke lembaga-lembaga pendidikan formal guna mematangkan warisan seni tradisi yang sudah diterima.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar