Aktualisasi Seni Perempuan

Dilihat 1772 kali
Wenti Nuryani dari Dusun Tambakan Sedayu Muntilan menampilkan Tari Golek di Kampus UNY

Gerak liukan tubuhmu anggun

Lentik jemarimu terpadu harmonis

Gerak agem dan sledet kejapan matamu

Berubah sekejap indah

Kibasan kipas dan selendang tepat irama

Menjelma bagai tarian para hapsari


Puisi karya Christian bertajuk Untuk Penari yang terinspirasi dari gerak penari tersebut membawa pembaca larut dalam alur narasinya. Karya puisi seniman dari Kabupaten Magelang itu, di dalamnya tersirat kekaguman pada totalitas penari perempuan saat memvisualisasikan ekspresi geraknya di atas panggung.


Realitanya perempuan itu sering dipuja bagai bulan bersinar juga disanjung bagai sekuntum bunga. Menari bagai para hapsari dari kahyangan. Realita ini tidak berhenti hanya pada zaman kedewataan yang mendudukkan perempuan sebagai semiotika estetis, namun sampai saat ini masih abadi.


Sistem kultur patriarki


Di masa lalu, pencitraan perempuan diberikan kaum laki-laki, tepatnya oleh sistem kultur patriarki, yaitu sistem mengedepankan pria sebagai penguasa dan penentu semua kebijakan. Termasuk penguasa menentukan segala sesuatu, di antaranya menguasai perempuan.


Dalam proses perjalanan waktu, posisi perempuan dalam seni pertunjukan semisal seni tari memegang posisi strategis, seperti penari tayub, ronggeng, jaipongan, dan lain-lain. Eksistensinya selalu tersanjung atas prestasi dan daya tarik mereka dalam menunjukkan visualisasinya saat pentas.


Kondisi alamiah yang merupakan wujud kodrati itu menjadikan kondisi kultural. Bahkan perempuan dikedepankan sebagai sebuah pendukung prestisius dari jabatan, kekayaan, dan juga kekuasaan. Tidak hanya para penguasa di muka bumi saja yang tertarik pada eksotika perempuan, namun dalam legenda disebutkan bahwa para dewata juga mengagumi para bidadari-bidadari yang menari dengan gemulai penuh aura.


Kondisi demikian itu menjadi sorotan dari gerakan feminisme strukturalis, dengan tujuan perempuan dapat didorong untuk lebih progresif, yang pada akhirnya dapat memunculkan gerakan gender yang kini senantiasa aktual untuk diwacanakan.


Gender sebagai identifikasi biologis dan identifikasi sosial sering dikorelasikan dengan perilaku laki-laki dan perempuan dalam masyarakat merupakan konstruksi sosial yang mengacu pada sistem nilai dan ideologi. Seiring dengan perubahan sosial yang ada nilai-nilai dan ideologi tersebut akan berbeda dari waktu ke waktu, sehingga penentuan kedudukan, peran, dan tingkah laku perempuan dan laki-laki akan menciptakan pembagian kerja secara proporsional (Endang Caturwati, 2009).


Pada banyak jenis kesenian tradisional, perempuan masih semata-mata ditempatkan sebagai daya tarik utama (center of interest) agar mata penonton terpikat atau bahkan terlibat dalam pertunjukan itu. Lengger di Banyumas, tayub di Blora, Bajidor Kahot dari Karawang, dan lain-lain adalah beberapa contoh kesenian tradisional dimana perempuan dijadikan objek pemikat yang menarik.


Peran Perempuan


Namun saat ini, secara faktual bisa dicermati, bahwa peran perempuan dalam jagad kesenian secara kuantitatif menunjukkan posisi dominan. Berbagai sanggar seni, sebagian murid dan pimpinannya adalah perempuan. Demikian juga pada berbagai bentuk seni pertunjukan, baik yang berasal dari lingkungan istana maupun rakyat, perempuan masih menunjukan peran signifikan. Tari bedaya, srimpi, golek, dan lain-lain yang ada di keraton Yogya atau Surakarta adalah repertoar khusus ditarikan oleh perempuan.


Sebaliknya, di lingkungan seni rakyat belakangan ini muncul fenomena di mana peran tertentu yang dulu dimainkan oleh laki-laki, sekarang justru digantikan oleh perempuan. Diantaranya kuda lumping di Temanggung, topeng ireng di Magelang, lengger di Banyumas, dolalak di Purworejo, dan berbagai jenis kesenian rakyat lainnya yang tumbuh dan berkembang di beberapa daerah.


Bila ditelisik lebih jauh, Kabupaten Magelang banyak memiliki potensi sumber daya perempuan yang patut dibanggakan. Sebut saja Wenti Nuryani dari Dusun Tambakan, Desa Sedayu, Muntilan, Kabupaten Magelang. Di samping seorang akademisi Dosen Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Yogyakarta, beberapa karya koreografinya sudah diperhitungkan di ranah publik. Seperti koreografi bertajuk Sumur, Dapur, dan Kasur (2009) yang didedikasikan untuk para perempuan merupakan karya monumental. Karya tersebut penarinya semua perempuan. Mengisahkan kekuatan perempuan di balik diam, pasrah, dan keikhlasannya sebagai ibu rumah tangga.


Di Pulau Dewata dikenal juga sosok maestro perempuan seperti Ni Luh Nesa Swasthi Wijaya dengan karya monumentalnya Tari Puspanjali sebagai tari penghormatan bagi para tamu. Sedangkan di jagad teater siapa tidak mengenal Yudiaryani dari ISI Yogyakarta, sutradara, pemain, kritikus teater yang semua karyanya banyak menjadi parameter perkembangan seni teater.


Di Amerika dikenal sosok koreografer handal Marta Graham dan Isadora Duncan yang menentang penari perempuan hanya sebatas sebagai figur yang dikekang oleh banyak aturan, tetapi kehilangan ciri manusiawi dan privasinya.


Gambaran tersebur menunjukkan bahwa secara kuntitatif peran perempuan dalam medan kesenian sangat besar. Untuk itu, asumsi bahwa perempuan masih belum bisa disejajarkan dengan laki-laki dan mitos perempuan subordinat laki-laki agaknya harus segera diakhiri. Kecuali kekuatan fisik, sesungguhnya perempuan mampu berbuat sesuatu yang sama dengan laki-laki. Karya-karya seni perempuan yang banyak berpijak pada realitas dari perspektif perempuan mampu menyuarakan keadaan dari sudut pandang yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki.


Dengan demikian kedudukan perempuan dalam berkesenian yang ingin memosisikan kesetaraan gender perlu terus diperjuangkan. Tentunya ada kiat dari semua pihak yang menguatkan bahwa citra perempuan dalam ranah seni adalah wujud dari komitmen mereka akan revitalisasi seni yang selalu dinamis.



Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyudan Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar