Ajar Kanthi Nalar dalam Memaknai Candi Borobodur

Dilihat 1110 kali
Tari ritual bertajuk Anjali persembahan Sanggar Tari Srikandi Magelang ikut menyemarakkan opening Ruwat Rawat Borobudur pada tanggal 21 Januari 2023 bertempat di pelataran Candi Borobudur. Tari tersebut menggambarkan sikap penghormatan manusia untuk kembali kepada hakikat nilai spiritual sebagai tuntunan hidup.

Sampai saat ini Candi Borobudur masih berdiri dengan kokohnya. Kaki-kakinya bagaikan menghunjam bumi yang tak tergoyahkan oleh badai apapun. Candi tersebut merupakan monumen Buddha terbesar di dunia karena sejatinya merupakan perpustakaan yang dipahat di batu yang melukiskan berbagai kisah terpenting dalam tradisi Buddha dan tak ditemukan padanannya di tempat lain.


Candi ini terletak di dataran Jawa Tengah, tepatnya di Desa Borobudur Kabupaten Magelang. Mendengar kata Magelang, publik seperti diingatkan bahwa daerah ini terletak di tengah Pulau Jawa. Sebagai karya budaya besar atau masterpiece putra Nusantara, candi ini diyakini dibangun bada akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9, semasa puncak kejayaan dinasti Sailendra, kerajaan besar yang menguasai sebagaian besar Jawa dan Sumatra (Anandajoti Bhikku, 2019).


Borobudur merupakan bagian penting dari filosofis ajaran kehidupan, warisan para leluhur yang tidak saja terpusat pada urusan masa lalu, tetapi bersinggungan juga dengan norma kehidupan di saat ini dengan segala pergumulan dan tantangannya. Hendaknya, basis pelestarian Borobudur juga seturut dengan cita-cita kemanusiaan dan makna kasih sayang yang bersemayam dalam candi tersebut.


Untuk itu, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk ikut mengawal langkah-langkah pelestarian tersebut, sebagai wujud kepedulian mereka. Fenomena keterlibatan komunitas tersebut ditangkap oleh Brayat Panangkaran Borobudur yang telah menyelenggaran kegiatan Ruwat Ruwat Borobudur (RRB) selama lebih dari dua dasa warsa atau tepatnya 21 tahun.


Penalaran Jernih


Kegiatan RRB yang digagas pertama kali oleh budayawan Sucoro dari Warung Info Borobudur tersebut berawal dari komitmen untuk merajut jaringan kerja budaya, melestarikan tradisi budaya lokal, dan menguatkan Borobudur sebagai kawasan destinasi wisata dunia dengan tidak meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal.


Adapun tema yang diangkat pada tahun ini adalah ajar kanthi nalar (belajar dengan mengggunakan penalaran). Kegiatan RRB tersebut sekaligus bersamaan dengan peluncuran buku bertajuk Ajar Kanthi Nalar yang ditulis oleh Sucoro dan Novita Siswayanti, peneliti dari BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Bila ditelisik tema tersebut terasa aktual dengan situasi sekarang ini. RRB yang sudah berjalan 21 tahun dengan segala dinamikanya tentu sudah memberikan kontribusi bagi masyarakat selaras dengan tujuan awalnya, yaitu pemberdayaan masyarakat dan mangajak semua pihak berkolaborasi sinergis untuk peduli kepada Borobudur sebagai warisan budaya dunia.


Dalam konteks tersebut, dapat dipahami bahwa ajar kanthi nalar mengisyaratkan suatu gagasan kreatif, bahwa komunitas yang bukan pengambil kebijakan sebagaimana birokrasi dalam struktur pemerintahan dapat menangkap Borobudur sebagai tempat belajar, tempat diskusi, dan juga mangasah penalaran yang jernih.


Borobudur bukan hanya sekadar sebagai tempat rekreasi atau bersenang-senang. Nilai edukasi tersebut, sejatinya yang disandang Candi Borobudur sejak didirikan sehingga mendapatkan rekognisi menjadi warisan dunia. Dengan kebersihan hati dan penalaran yang jernih itulah, sebagai modal dasar komunitas menghayati secara tepat hakikat dan nilai-nilai kawasan Borobudur sebagai warisan budaya dunia.


Ajar kanthi nalar, juga menyiratkan komunitas dapat mamaknai Candi Borobudur sampai kedalamannya berdasarkan tafsir mereka. Pemaknaan tersebut yang mungkin kadang paradoksal dengan pendapat para ahli, namun lantas tidak begitu saja dipersalahkan. Kebenaran tidak milik dan diakui oleh otoritas tertentu saja. 


Pemaknaan dari masyarakat merupakan ekspresi penghayatan mereka terhadap berbagai ilmu pengetahuan, pengalaman, kontak emosional, dan pemahaman terhadapap warisan budaya mereka sendiri. Pemaknaan yang berbeda tersebut manambah kayanya akan multi interpretasi yang sering disebut sebagai keragaman suara (Aris Tanu Dirja, 2023).


Meskipun harus diakui bahwa pemaknaan oleh komunitas setempat tidak harus dianggap yang paling benar. Namun setidaknya, pemaknaan tersebut melibatkan konsep-konsep dan situasi kultural setempat yang tentunya sangat familiar dengan konteks warisan budaya tersebut. Oleh karena itu, keterlibatan dan kerjasama paralel komunitas setempat dengan para praktisi pelestarian warisan budaya tersebut perlu dibangun agar dialektika pemaknaan tersebut dapat memberikan pemahaman yang tepat untuk masa kini dan masa mendatang.


RRB tahun ini dapat ditangkap makna dan tujuannya, bahwa sudah saatnya kawasan Borobudur dengan beragam warisan budaya dan komunitasnya perlu dikembalikan kepada fitrahnya, yaitu tempat belajar dan refleksi diri. Masyarakat atau wisatawan yang datang ke Borobudur tidak hanya sekadar rekreasi semata, namun perlu memaknai bahwa bangunan monumental tersebut memiliki nilai kultural luar biasa dibalik kemegahan bangunan fisiknya.


Pusat Spiritual


Dalam setiap kegiatannya RRB menekankan dalam pesannya, bahwa Candi Borobudur bukan hanya sekadar bangunan monumental, namun memiliki nilai spiritual yang sangat hakiki. Dalam konteks ini, spiritual bukan persoalan agama, namun lebih merupakan persoalan global sebagai akibat perubahan sosial.


Fenomena global yang muncul pada saat ini, banyak orang yang mengatasi kecemasan dan kekhawatiran hidup dengan melakukan yoga dan meditasi. Sebagian manusia mengasingkan diri dari kegemerlapan duniawi dan kegersangan kehidupan modern dengan melakukan mengikuti praktik tarekat (ajaran menuju jalan kehidupan abadi sesuai agama dan kepercayaannya).


Manusia berusaha kembali kepada spiritualitas, karena di dalam spiritualitas tersebut terkandung kekuatan atau energi positif, yang berkorelasi dengan perasaan, kekuatan, yang datang dalam diri kita. Pada prinsipnya spiritualitas cenderung melihat ke dalam mata batin menuju kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku secara universal pada diri seseorang.


Sebagai sumber energi positif, spiritualitas tidak hanya terdapat pada alam mikrokosmos atau diri pribadi seseorang, tetapi juga bersinggungan dengan alam makrokosmos semesta alam. Candi Borobudur sebagai mandala merupakan manifestasi dari bentangan alam yang di dalamnya terkumpul kekuatan enegi alam dari lima gunung yang mengitarinya dan dua sungai yang mengalirinya yaitu Sungai Elo dan Progo.


Masyarakat Borobudur merepresentasikan spritualitas dengan mengungkapkan pemaknaan memayu hayuning bawana atau membangun kesadaran lingkungan dengan semangat kebersamaan dan gotong royong. Candi Borobudur diyakini juga sebagai pusat spiritualitas yang menebarkan spiritualitas kebaikan untuk peduli terhadap sesama.


RRB yang sudah berjalan cukup lama ini, paling tidak sudah memberikan kontribusi positif terhadap komunitas. Semuanya diingatkan, bahwa sudah saatnya kita semua kembali memaknai Candi Borobudur dari sisi kedalaman filosofisnya. Di sana terdapat berbagai sumber pengetahuan yang tidak pernah kering untuk digali sebagai tuntunan kehidupan.


Di samping itu, kegiatan RRB juga selaras dengan UU Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menegaskan bahwa obyek pemajuan kebudayaan Borobudur tersebut mengandung nilai estetika dan etika yang bermanfaat bagi keberlangsungan hidup umat manusia yang berasaskan spiritualitas.


Dengan menerapkan nilai spiritualitas sebagai parameter utama kegiatannya, RRB sudah dapat memberikan pencerahan kepada publik untuk kembali menggali nilai spiritualitas mandala Candi Borobudur tersebut sampai tingkat intensitasnya.  


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar