Kesadaran Gender dan Perjuangan RA Kartini

Dilihat 6165 kali

Oleh : P. Budi Winarto, S.Pd*)


PERMASALAHAN gender sudah ada sejak dahulu kala. Budaya patriatik merupakan salah satu akar penyebab adanya anggapan bahwa perempuan memiliki posisi yang tidak sepadan dengan laki-laki. Kaum laki-laki ada pada posisi utama dan diutamakan, sedangkan perempuan lebih sebagai sosok penyempurna yang ada pada posisi subordinat. Masyarakat Jawa bahkan secara jelas memposisikan perempuan sebagai konco wingking (teman yang tempatnya ada di belakang). Perlakuan pembedaan ini hampir di semua bidang kehidupan, baik domestik maupun publik, baik persoalan pribadi maupun kedinasan.

Kondisi budaya yang berlaku secara turun temurun memang sedikit banyak merugikan kaum perempuan. Beberapa pihak secara stereotipe memposisikan diri sebagai pihak yang lemah dan perlu dilindungi, tidak berani mengambil keputusan dan enggan mengemukakan keinginannya. Namun, lambat laun kondisi ini mengalami perubahan dan kemajuan. Sebagian kaum perempuan, dalam budaya apapun, menyadari perlunya pengembangan diri dan pengajuan eksistensi.

Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, terdapat perbaikan dan penyadaran akan perlunya kesetaraan antara dua pihak tersebut, yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian lebih dikenal dengan istilah kesetaraan dan keadilan gender. Bebagai pihak menaruh perhatian dan upaya untuk mewujudkan hal tersebut. Langkah dan program pun disusun, baik oleh LSM, organisasi sosial kemasyarakatan, pemerhati perempuan bahkan juga oleh pemerintah.

Dari waktu ke waktu upaya mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan terus dilaksanakan. Kaum perempuan menyadari keterbatasan dan kesempitan ruang geraknya. Mereka pun berjuang dan melakukan berbagai upaya perbaikan, baik secara perorangan maupun kelompok dan bahkan organisasi. Semua ini dilakukan sejalan dengan kemajuan pendidikan yang telah dikenyam oleh kaum perempuan. Perkembangan penalaran dan wawasan membuat mereka berupaya memperbaiki nasib dan keberadaannya. Mereka mulai mengambil peran dan memberikan manfaat dalam beberapa sektor kehidupan. Namun toh di alam modern seperti saat ini, sungguh disayangkan, masih ada sebagian kaum perempuan yang Nampak seolah enggan beranjak dari keterbatasannya. Ia masih memposisikan diri sebagai pihak lemah yang enggan untuk tampil dan ambil peran. Bukan bertindak sebagai subjek, tapi tanpa disadarinya kadang justru mengambil posisi sebagai objek.

Perbaikan demi perbaikan nasib secara terus menerus dialami oleh kaum perempuan. Selain oleh karena perjuangan, juga bisa dikatakan sebagai anugerah dari Tuhan. Harkat dan martabat perempuan Indonesia tidak serta merta didapat karena perjuangan masa kini. Namun juga merupakan hasil dari perjuangan sejak masa lalu terutama perjuangan RA Kartini dari Jepara. Seperti kita ketahui, dahulu di zaman RA Kartini, kondisi yang dialami oleh kaum perempuan jauh lebih sulit dan berat. Kaum perempuan Indonesia pernah mengalami suatu masa, dimana ia tidak memperoleh hak dan kebebasan atas dirinya sendiri. Jati diri sebagai perempuan tidak sepenuhnya diakui dan dihargai. Kala itu perempuan lebih dipandang sebagai sosok penyempurna, suplemen ataupun pelengkap.

Saat ini bisa dikatakan kaum perempuan pada umumnya telah bisa beraktivitas dengan leluasa. Mereka mengadakan pertemuan untuk membahas suatu hal, berseminar dan mengembangkan wawasan. Dengan bebas kaum perempuan dapat berekspresi dan menggapai keinginannya, segala kreasi yang memenuhi benaknya bisa ia tuangkan dalam berbagai bentuk . Secara umum perempuan di Indonesia saat ini ada pada posisi yang cukup kuat untuk ambil bagian dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka cukup mempunyai banyak peluang untuk berekspresi secara bebas dalam karya, usaha, minat dan bakan. Meski tidak dipungkiri masih ada pula sejumlah perempuan yang terikat dalam belenggu-belenggu tertentu. Dengan demikian bisa dikatakan hal keadilan dan kesetaraan gender secara umum telah dapat dinikmati oleh kaum perempuan Indonesia, namun belum berlaku secara merata di sejumlah daerah di Indonesia.

Jika ditilik dari sejarah, buah kesetaraan gender di Indonesia yang bisa dinikmati kaum perempuan saat ini, tidak lepas dari perjuangan tokoh emansipasi kaum perempuan, yakni RA Kartini. Perjuangan RA Kartini pada masa lalu, saat ini pun masih terus dilakukan oleh para aktivis gender dan organisasi perempuan yang ada di Indonesia. Pemerintah pun sudah sejak lama memberikan perhatian dengan dibentuknya kementerian perempuan yang dipimpin oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan. Kondisi ini menunjukkan perlunya usaha dan perhatian terhadap upaya penyadaran dan kesetaraan gender tersebut.

Di dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai peran gender yang harus dilaksanakan. Peran tersebut sekaligus melekat dalam hak dan kewajiban. Seorang perempuan secara kodrati berpotensi menjadi ibu. Peran sebagai ibu mengandung konsekuensi dan kewajiban yang sudah berlaku secara turun temurun serta secara konvensi diterima umum. Demikian pula dengan peran laki-laki sebagai ayah dan kepala keluarga. Perangkat peran tersebut melekat dalam nilai-nilai sosial dan budaya yang cukup mengikat. Secara umum dan secara naluri, perempuan memiliki keterikatan yang sangat erat dengan keluarga, yaitu dalam perannya sebagai istri dan ibu. Meski demikian tidak tertutup juga ia akan memberikan perannya dalam kehidupan di luar rumah. Ia bisa berkreasi secara bebas, baik di keluarga, dalam kehidupan sosial, dalam dunia profesi maupun politik, bila ia memang menghendakinya.

Kesadaran dan kesetaraan gender mestinya dimaknai oleh kaum perempuan sebagai peluang untuk mengaktualisasikan diri secara optimal. Secara leluasa, kaum perempuan bisa lebih berperan di berbagai bidang. Apabila kondisi ini dimanfaatkan secara baik, maka sudah barang pasti kesadaran dan kesetaraan gender bisa memberikan peningkatan bagi kaum perempuan, baik dari segi kualitas diri, kesempatan mendapatkan penghasilan maupun kepuasan batin. Diharapkan tidak terjadi yang sebaliknya, perempuan menyalahgunakan kesempatan atas nama kesetaraan untuk sekedar bersenang-senang tanpa diikuti sikap tanggung jawab.

Hal keadilan gender akan terwujud apabila ada sikap pengertian secara timbal balik antara laki-laki dan perempuan, artinya kedua belah pihak bisa menempatkan diri secara proposional. Masing-masing bisa menyadari hak dan kewajiban serta memberikan apresiasi secara wajar.

Kaum perempuan bisa memanfaatkan kesadaran dan keadilan gender untuk terlibat dan berperan aktif dalam berbagai bidang domestik maupun publik. Sebagai ibu dan istri, ia bisa memberikan pendampingan dan kedamaian bagi keluarga. Hal ini sangat penting mengingat suasana damai yang tercipta dalam keluarga akan membuat setiap anggota keluarga dapat tumbuh dan berkembang serta berkreasi secara optimal. Sebagai anggota masyarakat, ia bisa memberikan sumbangsihnya kepada sesame melalui berbagai kegiatan dan keterlibatan sosialnya. Sebagai perempuan karier, ia bisa mengembangkan semua potensi sehingga bisa berprestasi sesuai bidang, minat dan bakat yang dimilikinya.

Berkat perjuangan RA Kartini di masa lalu, saat ini kaum perempuan Indonesia sudah bisa terlibat aktif dalam berbagai bidang kehidapun, baik domestik maupun publik. Untuk itu patutlah semua itu disyukuri dengan memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin untuk berkarya, mengembangkan diri  dan terlebih untuk memberikan peran sehingga berguna bagi sesame. Dengan demikian kehadiran perempuan, di mana pun tempatnya, dapat memberikan manfaat yang berarti, tidak lagi dipandang sebagai unsur pelengkap atau penyempurna. Semoga.

*)Penulis adalah guru SMP Pendowo Ngablak-Kabupaten Magelang.

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar